Narasi

Mengutuk Agresi Israil Zionis, Bukan Berarti Benci Yahudi!

Tidak ada satu-pun agama di dunia ini yang mengajarkan tentang kekerasan, kebiadaban dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Maka, kebenaran etis yang semacam ini, penting untuk kita pegang terlebih dahulu. Sebelum kita berasumsi terlalu jauh dan membangun persepsi buta tentang konflik Palestina-Israil yang kembali pecah. Lalu dengan mudahnya kita menggeneralisir Yahudi itu biadab dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

 Padahal, antara Israil Zionis dengan Yahudi (basis agama) justru sesuatu yang berbeda. Yahudi adalah agama layaknya Islam dan Kristen yang memiliki ajaran mutlak cinta-kasih. Sedangkan Israil Zionis merupakan sekelompok orang yang membawa “misi politis” untuk kembali ke bukit Sion.

 Maka, menolak agresi Israil Zionis, bukan berarti kita membenci Yahudi. Karena begitu banyak pendeta Yahudi yang mengutuk keras tindakan Israil yang biadab terhadap rakyat Palestina. Itu dianggap mencederai ajaran Yahudi dan menyimpang dari ajaran di dalam Al-Kitab itu sendiri.

Sama hal-nya dalam Islam, kita dihadirkan oleh kelompok ekstrimis, radikal, intolerant dan keras, layaknya Wahabi. Kita sebagai warga Indonesia sangat menolak keras ajaran yang semacam itu di tengah bangsa Indonesia yang memegang prinsip kebhinekaan. Akan tetapi, kita boleh membenci Islam sekali-pun kita mengutuk paham Wahabi. Walau-pun akar ajaran mereka selalu menyandang Islam. Tetapi, ajaran mereka justru menyimpang dari nilai-nilai Islam itu sendiri.

Maka, kebiadaban yang dilakukan oleh Israil yang menyandang gelar “Zionsime” itu bukan agama Yahudi. Dia adalah orang-orang yang Yahudi yang memiliki misi politis untuk kembali ke bukit Sion dan ingin menyingkirkan masyarakat Palestina.

Tentu, di tengah kondisi yang semacam ini, kita akan menemukan titik terang bahwa kita perlu mengutuk (agresi Israil) tetapi kita tidak boleh benci Yahudi sebagai ajaran yang memegang prinsip kebaikan universal. Sebagaimana statement utama, bahwa tidak ada satu-pun agama yang mengajarkan tentang kebiadaban, kekerasan dan melanggar nilai kemanusiaan.

Pun, di-setiap api konflik antara Palestina dan Israil kembali meletus, umat Islam Indonesia, perlu mendukung Palestina karena “asumsi dasar” bahwa bangsa Palestina merupakan umat Islam. Begitu juga dengan pihak Kristen, mereka lebih pro-Israil dan buta terhadap (kemanusiaan) karena umat Yahudi di dalam Al-Kitab (Israelites) sebagai umat terpenting di dalam kitab suci umat Kristiani. Sebagaimana  yang tertera di dalam kitab perjanjian lama.

 Dinamika yang semacam ini, selalu melahirkan persepsi buta. Bahwa setiap kejahatan, kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh tentara Israil, itu lantas umat Islam Indonesia “kadang” spontan membenci Yahudi. Sebagaimana asumsi dasar tentang Palestina yang diidentikkan sebagai umat Islam. Maka, Yahudi selalu dianggap sebagai musuh umat Islam.

Pemahaman yang semacam ini justru akan mencederai kebhinekaan kita. Serta merusak solidaritas kebangsaan kita sendiri. Karena efek dari pemahaman yang keliru seperti halnya persepsi dan asumsi di atas. Bahwa Yahudi dianggap sebagai musuh Islam, Islam adalah musuh Yahudi.

Pada akhirnya, solidaritas kita tidak lagi tentang kemanusiaan, menolak kekerasan dan mendukung kemerdekaan yang damai terhadap rakyat Palestina. Tetapi, rasa solidaritas kita hadir karena kesadaran “identitas” kita saja. Bahkan pro-Israil yang dilakukan oleh umat Kristen Indonesia hanya karena “pembelaan identitas” meskipun tindakan Israil justru melanggar kemanusiaan yang bisa mencederai ajaran-ajaran Yahudi dalam Al-Kitab dan melanggar nilai-nilai kebaikan di dalamnya.

Lantas, saya tertarik dengan pandangan Prof. Rashid Khaldi, salah satu sejarawan Amerika-Palestina di Columbia University di dalam bukunya “Palestinian Identity” bahwa konflik yang meledak antara Israil dan Palestina ini sebetulnya bisa reda dan membentuk perdamaian. Tetapi selalu dibesarkan oleh pihak-pihak tertentu yang memainkan “politik identitas” keduanya yaitu Yahudi dan Islam.

Artinya, konflik yang telah menelan banyak korban di Palestina ini sebetulnya lahir karena rekonstruksi oleh berbagai kepentingan. Lalu dikuatkan dengan identitas kedua pihak tersebut yaitu Islam-Yahudi. Lalu dipertemukan bukan sebagai agama secara basis ajaran umat manusia yang mendamaikan. Tetapi sebagai politik identitas yang selalu dimainkan oleh orang-orang tertentu untuk bermusuhan. Sehingga, masyarakat Palestina menjadi korban di balik permainan busuk yang semacam ini.

This post was last modified on 21 Mei 2021 1:06 PM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Merdeka Belajar; Merdeka dari Tiga Dosa Besar Pendidikan

Sekolah idealnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Namun, ironisnya belum semua sekolah memberikan rasa aman…

22 jam ago

Fitrah Indonesia dan Urgensi Sekolah Ramah Perbedaan

Di tengah dinamika keragaman Indonesia, konsep sekolah ramah perbedaan menjadi semakin penting untuk dikedepankan guna…

24 jam ago

Sekolah Damai; Mewujudkan Pendidikan yang Steril dari Intoleransi, Perundungan, dan Kekerasan

Di era modern seperti sekarang, kemajuan sebuah bangsa atau negara tidak hanya ditentukan oleh kekayaan…

24 jam ago

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak…

4 hari ago

Langkah-langkah Menjadi Kartini Kekinian

Dalam era modern yang dipenuhi dengan dinamika dan tantangan baru sebelum era-era sebelumnya, menjadi sosok…

4 hari ago

Aisyiyah dan Muslimat NU: Wadah bagi Para Kartini Memperjuangkan Perdamaian

Aisyiyah dan Muslimat NU merupakan dua organisasi perempuan yang memiliki peran penting dalam memajukan masyarakat…

4 hari ago