MENGAWALI tahun 2021 pemerintah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) 2020-2024. Dalam peraturan yang ditandatangani pada 6 Januari ini, pemerintah menekankan pentingnya keterlibatan seluruh elemen bangsa, khususnya masyarakat, dalam upaya menanggulangi bahaya ekstremisme di Tanah Air.
Seperti biasa, setiap kali pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan, selalu disertai dengan pro dan kontra, begitu pun ketika mengesahkan Perpres RAN-PE. Sebagian mengatakan bahwa Perpres RAN-PE bisa menjadi ‘angin segar’ bagi upaya pencegahan terorisme karena dalam prosesnya melibatkan kementerian, lembaga, daerah, dan masyarakat, sehingga diyakini akan semakin efektif. Sebagian lain mengatakan bahwa pemerintah seharusnya tidak menerbitkan Perpres mengenai penanggulangan ekstrimisme, tetapi sebaiknya mengoptimalkan kerja kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga terkait, serta fokus menyelesaikan masalah-masalah lain yang dihadapi bangsa ini.
Terorisme merupakan masalah global yang telah mampu membentuk politik internasional di berbagai belahan dunia selama beberapa dekade, dan intensitasnya semakin meningkat setelah serangan 11 September 2001. Sejauh ini, upaya pemerintah mengatasi terorisme lebih tampak untuk “mengobati” daripada “mencegah”, dalam artian lebih banyak melakukan tindakan setelah terjadi daripada sebelum terjadi. Terbitnya Perpres RAN-PE menjadi strategi baru pemerintah untuk mencegah terorisme, yaitu dengan cara membentengi masyarakat dari pemikiran-pemikiran ekstrem yang dapat mendorong seseorang melakukan aksi-aksi kekerasan dan bahkan terorisme sehingga mengganggu kerja-kerja pemerintah secara keseluruhan.
Di sisi lain, ada yang berasumsi bahwa Perpres RAN-PE bisa menjadi sarana adu domba dan pemecah belah masyarakat. Sebab, pelibatan masyarakat dalam penanggulangan ekstrimisme akan membuat mereka saling mencurigai dan saling membenci, yang nantinya bisa mengancam persatuan dan keutuhan bangsa. Tentu saja asumsi ini tidak benar dan tidak masuk akal. Karena justru ekstremisme-lah yang akan mengobarkan kebencian dan permusuhan, bahkan berpotensi melahirkan konflik dan perang saudara. Kita tidak boleh melupakan pengalaman berdarah negara-negara di kawasan Timur Tengah, seperti Suriah, Irak, Afghanistan, dan Yaman yang porak-poranda akibat suburnya ekstremisme. Beberapa di antaranya bahkan telah menjadi seperti “negeri tak bertuan”.
Pelibatan masyarakat dalam penanggulangan ekstremisme sesungguhnya merupakan upaya pemerintah untuk memberikan penyadaran bahwa terorisme adalah masalah bersama seluruh anak bangsa, bukan semata-mata masalah pemerintah, dan harus ditanggung bersama. Dengan adanya Perpres RAN-PE ini, kelompok-kelompok masyarakat dari unit yang paling kecil di tingkat rukun tetangga, bahkan dasawisma, nantinya diharapkan mempunyai ketahanan sosial guna menutup celah bagi infiltrasi ideologi ekstremisme dan memiliki sensitivitas sosial untuk mengidentifikasi serta melakukan pencegahan awal terhadap eksistensi terorisme.
Hal lain, yang lebih tidak masuk akal lagi, ada yang mengaitkan terbitnya Perpres RAN-PE dengan islamophobia. Dalam hal ini, pemerintah dituding sebagai bagian dari antek-antek Barat-Amerika yang sangat anti terhadap Islam dan itu tercermin dalam sejumlah kebijakan yang dikeluarkan selama beberapa tahun terakhir, termasuk pembubaran HTI dan FPI. Perpres RAN-PE dinilai lebih menyasar Islam dan umat Muslim, yang menunjukkan bahwa seolah-olah Islam adalah agama teroris. Isu ekstremisme dan terorisme dipandang sengaja dihembuskan oleh Barat untuk menghancurkan Islam.
Benarkah demikian? Kita harus yakin bahwa terorisme sama sekali tidak terkait dengan Islam, dan bahwa upaya memerangi terorisme tidak menunjukkan kebencian Barat terhadap Islam. Buktinya banyak, beberapa di antaranya bisa disebutkan di sini. Misalnya, dalam kasus penembakan oleh Nidal Hassan, seorang psikiater Muslim Amerika, di pangkalan militer “Fort Hood”, Texas, yang membuat 4 orang tewas dan 11 orang lainnya luka-luka, pihak berwenang Amerika dan media Barat memandang insiden itu sebagai “kekerasan di tempat kerja” dan “tidak terkait dengan tindakan terorisme”.
Kemudian, dalam kasus Omar Mateen, seorang Muslim Amerika, pelaku penembakan massal yang menewaskan 50 orang di klub malam “Pulse”, Orlando, polisi dan pihak berwenang Amerika menyebutnya sebagai penderita “gangguan mental” dan bukan “teroris”. Begitu juga dalam kasus pendudukan tanah Palestina oleh Israel, di mana warga Palestina yang meledakkan diri di antara tentara-tentara Israel, oleh PBB tidak dianggap sebagai aksi terorisme, melainkan sebagai aksi perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Namun dalam kasus lain, warga Amerika menuntut pihak berwenang untuk menggambarkan sekelompok orang Kristen Amerika kulit putih yang menembaki sekolah-sekolah umum sebagai “teroris”, dan mereka menolak menyebut sekelompok orang itu sebagai penderita “gangguan mental”. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan bahwa sebutan “teroris” hanya berlaku dan terbatas pada pelaku Muslim.
This post was last modified on 20 Januari 2021 1:04 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…