Keagamaan

Menjadi Muslim Moderat, Apa Dasarnya?

Beragama secara moderat adalah cara mendewasakan diri secara moral-etis sosial dalam menerima kebenaran sunnatullah. Karena segala bentuk sikap saling membenci, saling mem-fitnah, merasa paling benar, penuh kebencian dan doyan konflik, adalah perilaku yang melanggar norma teologis.

Lantas, apa dasarnya bagi kita dalam menjadi muslim moderat? Di dalam (Qs. Al-Baqarah:143) “Dan demikianlah pula kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya, melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maka Penyayang kepada manusia”.

Menjadi muslim moderat pada dasarnya tidak akan membuat iman-mu rusak. Ini tentang bagaimana kemutlakan Islam yang pada hakikatnya adalah agama tolerant. Artinya, jalan moderat adalah satu sikap beragama yang tidak ekstrem kanan dan tidak ekstrem kiri yang condong berpihak ke dalam kemungkaran. Berada di titik tengah adalah menjembatani keamanan, kedamaian dan kebersamaan tanpa berpecah-belah dalam konteks keagamaan.

Nabi Muhammad SAW sebagai (pembawa Islam) di satu sisi selalu menekankan (islamisasi) tanpa paksaan, tanpa intimidasi dan tanpa kekerasan. Jadi, kekeliruan terbesar ketika perilaku beragama yang selalu memaksakan kehendak dan merasa paling benar itu. Kedua, Beliau menjembatani segala (perilaku sosial) yang selalu mementingkan keterhubungan sosial-kemanusiaan antar umat yang berbeda. Agar tetap terjaga dengan baik, harmonis, aman dan tanpa pertumpahan darah.

Misalnya yang pertama, Islam sebagai agama misi yang disebarkan kepada siapa-pun dan di mana-pun. Namun, tidak ada (kewajiban) seseorang harus menjadi Islam. Pun tidak ada dalil kebenaran untuk memaksakan kehendak apalagi bertindak anarkis untuk memaksakan seseorang agar masuk Islam. Karena, Islam melarang tindakan hal yang semacam itu. Sebab, menjadi Islam adalah pilihan, karena kesadaran dan ketertarikan hati yang tulus. Tanpa paksaan.

Jadi, dalam konteks menghadapi mereka yang berbeda (non-muslim) tampaknya kita tidak boleh semena-mena, memutus hubungan atau bersikap anti dan penuh kebencian. Dengan alasan, karena mereka bukan Islam atau tidak mau diajak untuk menjadi Islam.

Karena, segala tindakan yang demikian tidak pernah dibenarkan di dalam ajaran Islam sendiri. Karena melanggar nilai-nilai Islam yang (non-paksaan, non-intimidasi dan non-kekerasan). Serta melanggar nilai-nilai Islam yang mengacu kepada (keterhubungan sosial) yang baik terhadap mereka yang berbeda.

Kedua, di sinilah Nabi Muhammad SAW selalu membangun prinsip-prinsip (keterhubungan sosial) antar umat beragama yang (harus baik). Sebagaimana, mereka yang berbeda atau bukan pemeluk Islam bukan berarti musuh. Sebab, Nabi Muhammad SAW membawa nilai-nilai keislaman yang juga menitik-beratkan terhadap pranata sosial yang mapan. Di mana, non-muslim adalah saudara dalam realitas sosial. Maka, diperintahkan untuk bersikap baik, membangun kehidupan yang harmonis dan jangan bertumpah-darah merupakan bentuk ketetapan teologis yang harus dijaga dengan baik.

Sehingga dari dua pemahaman penting yang semacam ini, tampaknya tidak ada satu alasan apa-pun bagi kita. Untuk bersikap acuh, tidak menghargai, anti-sosial terhadap non-muslim, penuh kebencian dan permusuhan. Lalu mengatasnamakan itu sebagai bentuk dari kebenaran Islam. Atau bahkan sikap ketidakpedulian yang demikian selalu dinisbatkan kepada (prinsip iman). Karena, sikap dan keputusan yang semacam itu justru merusak pranata etis keislaman yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Dalam peranan-nya, sikap moderat itu selalu cenderung ke dalam prinsip beragama, bahwa keragaman/perbedaan cara pandang yang tetap disikapi secara etis dengan tetap menjaga (keharmonisan tanpa berpecah-belah). Entah dalam aktivitas politik yang tetap menjaga persatuan dan kebersamaan sebagai satu pandangan beragama yang tidak boleh goyah.

This post was last modified on 6 September 2023 3:39 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat…

2 bulan ago

Peran yang Tersisihkan : Kontribusi dan Peminggiran Etnis Tionghoa dalam Sejarah

Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan…

2 bulan ago

Yang Diskriminatif adalah yang Jahiliyah

Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…

2 bulan ago

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…

2 bulan ago

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Ideologi : Pilar Mereduksi Ekstremisme Kekerasan

Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…

2 bulan ago