Keagamaan

Esensi Islam Kaffah: Menghadirkan Islam sebagai Rahmat

Istilah Islam kaffah kerap melintas dalam wacana publik, namun sering direduksi menjadi sekadar proyek simbolik: pakaian syar’i, jargon khilafah, atau narasi penegakan hukum syariat hukum yang tekstual. Padahal, perintah dalam Al-Qur’an, “Udkhuluu fis silmi kaffah” (masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh), bukan hanya menyeru pada kesempurnaan ritual, tetapi pada integrasi spiritual, moral, sosial, dan kemanusiaan secara utuh.

Islam kaffah sejatinya adalah perjalanan evolusi batin menuju peran sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan sumber ketakutan atau kebencian. Para ulama menegaskan bahwa makna kaffah mencakup akidah, ibadah, dan akhlak. Tanpa akhlak, syariat kehilangan ruhnya. Syariat tanpa budi pekerti sebagai tubuh tanpa jiwa, bagaikan bangunan megah tanpa pondasi.

Jika agama sampai kehilangan dimensi kemanusiaannya akan berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan. Maka, pertanyaannya: apakah yang hari ini kita sebut “membela Islam” benar-benar memuliakan Islam, atau justru mempersempitnya menjadi alat penghakiman dan polarisasi?

Di titik ini, kritik diri menjadi kebutuhan mendesak. Banyak yang mengusung nama Islam, namun mempraktikkan retorika yang penuh amarah dan caci maki. Media sosial menjadi arena perburuan kesalahan. Orang lain dijadikan target, bukan sesama manusia yang harus dirangkul. Sikap semacam ini merupakan bentuk penyempitan makna Islam kaffah.

Sebab, Nabi Muhammad diutus bukan untuk memperbanyak musuh, tetapi memperluas kasih. Sejarah kenabian menunjukkan, bahkan ketika beliau dihina atau dilempari batu, responsnya bukan dendam, melainkan doa agar hati manusia diberi petunjuk.

Dalam filsafat kontemporer, Emmanuel Levinas menawarkan gagasan etika wajah: melihat manusia lain bukan sebagai objek penilaian, tetapi sebagai subjek yang wajib dihormati. Pandangan ini sejalan dengan ajaran Nabi: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Di sinilah letak keberanian seorang Muslim kaffah, bukan berani menghakimi, tetapi berani melihat wajah orang lain sebagai sesama ciptaan Tuhan yang memiliki martabat.

Namun, manusia mudah tergelincir dalam jebakan ego religius: merasa lebih suci hanya karena berbeda cara berpakaian atau karena lebih sering menyebut istilah syariat. Merasa ekslusif di antara yang lain karena ibadah adalah salah satu target bujuk rayu setan. Muhammad Iqbal mengingatkan bahwa manusia Islam ideal bukanlah sosok yang hanya mematuhi perintah secara mekanis, melainkan ia yang menghadirkan keindahan dan peradaban melalui kasih dan tanggung jawab moral.

Jika Islam kaffah dimaknai hanya sebagai ekspresi simbolik, tanpa memanusiakan manusia, maka yang terjadi bukan rahmat, melainkan fitnah. Kita bisa mengingat seorang sahabat yang ditegur Rasulullah saw. karena membaca surat yang sangat panjang saat menjadi imam shalat.

Rahmat dalam Islam tidak terbatas kepada sesama Muslim. Tafsir para ulama menyatakan bahwa “alamin” dalam QS. Al-Anbiya: 107 mencakup seluruh makhluk: manusia, hewan, tumbuhan, bahkan ekosistem alam. Maka, seorang Muslim kaffah tidak mungkin menjadi penyebar teror, baik dalam bentuk ujaran kebencian, penistaan martabat, polusi informasi, maupun kekerasan fisik. Rahmat tidak pernah lahir dari logika permusuhan, tetapi dari kesadaran mendalam bahwa hidup ini adalah amanah untuk menghadirkan kebaikan.

Zygmunt Bauman mengkritik dunia modern sebagai masyarakat “friend or enemy”; kawan atau lawan. Cara pandang ini kini menjangkiti sebagian umat yang mudah mencap sesat, liberal, kafir, wahabi, ahli bid’ah atau munafik terhadap siapa pun yang tidak sepaham. Padahal, konsep li ta’arafu dalam Islam menekankan pentingnya saling mengenal, bukan saling menghakimi. Identitas Islam tidak dibangun melalui permusuhan, tetapi melalui kontribusi positif dan keteladanan.

Refleksi batin menjadi pondasi terpenting dalam membangun Islam kaffah. Sayyidina Umar bin Khattab mendorong kita untuk melakukan muhasabah diri. Artinya, proyek utama seorang Muslim bukan mencari kesalahan orang lain, tetapi memperbaiki diri. Kaffah dimulai dari keberanian untuk mengakui kekurangan, bukan menutupi ketidakdewasaan spiritual dengan teriakan tentang ketegasan syariat.

Jika Islam adalah cahaya, maka cahaya itu tidak pernah memaksa, apalagi membakar. Ia menerangi tanpa membeda-bedakan. Seorang Muslim kaffah hadir laksana hujan: menyejukkan siapa pun yang disentuhnya, bahkan mereka yang tidak sepemahaman. Islam bukan hanya hadir di mimbar, tetapi di pasar, ruang digital, pergaulan sosial, cara berdialog, dan cara kita bersikap saat tidak ada yang melihat.

Islam kaffah bukan agenda politis semata, melainkan revolusi batin yang memancar ke dalam kehidupan sosial. Ia menuntut kejujuran, kesantunan, kepedulian, dan kesadaran bahwa setiap kata dan tindakan bisa menjadi rahmat atau bencana.

Maka, sebelum kita bertanya, “Mengapa dunia tidak memahami Islam?”, hendaknya kita bertanya terlebih dahulu, “Sudahkah kita menghadirkan Islam sebagai rahmat dalam perilaku kita?” Ketika rahmat menjadi nafas dalam kehidupan sehari-hari, barulah Islam kaffah menemukan makna sejatinya: bukan sekadar identitas, tetapi peradaban kasih yang menghidupkan.

This post was last modified on 19 Oktober 2025 9:36 AM

Syukron

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

2 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

2 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

2 hari ago

Belajar dari ISIS-chan dan Peluang Kontra Radikalisasi neo-ISIS melalui Meme

Pada Januari 2015, sebuah respons menarik muncul di dunia maya sebagai tanggapan atas penyanderaan dan…

3 hari ago

Kejawen, Kasarira, dan Pudarnya Otentisitas Keberagamaan

Menggah dunungipun iman wonten eneng Dunungipun tauhid wonten ening Ma’rifat wonten eling —Serat Pengracutan, Sultan…

3 hari ago

Delegitimasi Tradisi Pesantren; Membongkar Taktik Manipulatif Kaum Salafi Wahabi Mengadudomba Umat Islam

Jagad media sosial, terutama X heboh oleh unggahan tagar "Boikot Trans7". Tanda pagar itu muncul…

4 hari ago