Polemik ihwal relasi Pancasila dan agama kembali mencuat ke tengah publik pasca pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru, yakni Prof. Dr. KH. Yudian Wahyudi Asmin. Dalam sesi wawacancara dengan sebuah media online, ia menyebut bahwa musuh Pancasila adalah agama. Belakangan, ia mengklarifikasi pernyataan itu, dengan menyebut bahwa Pancasila adalah ajaran yang agamais. Namun, apa lacur, publik kadung terpantik oleh pernyataan tersebut.
Tulisan ini tentu tidak ada dalam kapasitas untuk menghakimi pernyataan Ketua BPIP tersebut. Sebagai akademisi, professor di bidang hukum Islam dengan berderet gelar akademik dan puluhan karya ilmiah, kita tentu tidak lagi meragukan kapasitas keilmuan seorang Yudian Wahyudi Asmin. Ia adalah sosok pemikir muslim moderat serta figur nasionalis yang mustahil membenturkan antara agama dan Pancasila.
Maka, bolehlah kita sebut pernyataan itu sebagai sebuah slip-tounge (selip lidah) atau justru ketidakmampuan jurnalis dalam menangkap maksud dari pernyataan sang narasumber. Meski demikian, polemik ihwal Pancasila dan agama tetap perlu dijelaskan secara gamblang, agar ke depannya polemik serupa tidak terulang kembali.
Nasinolisme dan Agama
Jika kita membincangkan sejarah terbentuknya nasionalisme Indonesia, maka salah satu variabel pembentuk yang tidak boleh dilupakan adalah agama. Hal ini berbeda misalnya dengan sejarah terbentuknya nasionalisme Eropa yang cenderung bernuansa sekuler. Corak nasionalisme-sekuler ala Eropa itu tercipta lantaran saat nasionalisme bangkit, agama di Eropa tengah mengalami kemunduran. Sementara dalam konteks Indonesia (Nusantara), agama justru menjadi salah satu pilar penting dalam kehidupan sosial-politik masyarakatnya.
Maka, ketika negara baru bernama Indonesia lahir setelah berjuang melawan penjajah sekian tahun lamanya, unsur agama mau tidak mau dilibatkan dalam penyusunan dasar, ideologi dan konstitusi negara. Dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 misalnya terdapat sebuah pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai lantaran rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Begitu pula dalam Pancasila. Sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itu membuktikan bahwa negara Indonesia didirikan dengan perspektif religiositas yang sangat kental.
Namun demikian, Indonesia tidak lantas mengambil bentuk sebagai negara agama yang menjadikan agama tertentu sebagai sumber hukum positifnya. Sejarah panjang pertautan masyarakat Nusantara dengan berbagai macam agama tidak lantas membuat para pendiri bangsa memutuskan Indonesia menjadi negara agama. Demikian pula, meski lama dibawah “asuhan” pemerintah Belanda yang berkarakter liberal, Indonesia juga tidak lantas menjadi negara sekuler. Para pendiri bangsa berusaha menegosiasikan antara kecenderungan sekularisasi negara di satu sisi dengan kepentingan religiosasi negara di sisi lain. Hasil negosiasi itu ialah lahirnya Pancasila, yang mengakomodasi semua nilai dan ajaran agama yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Baca Juga : Menafsirkan Pancasila secara Kaffah
Dalam Pidato pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno sang perumus Pancasila dengan lantang menyeru, ”marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketihanan yang berbudi pekerti luhur, dan ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”. Kalimat kunci dari penggalan pidato Bung Besar itu terletak pada frase “ketuhanan yang berkebudayaan”.
Sayangnya, agenda ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana menjadi idealitas para pendiri bangsa agaknya mulai dilupakan. Sebaliknya, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini cenderung mengedepankan ketuhanan yang nir-kebudayaan. Praktik ketuhanan dan keagamaan di sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini telah berkelindan dan bercampur aduk dengan urusan politik dan kepentigan ideologis. Akibatnya, Tuhan dan agama kerapkali dijadikan alat untuk meraih kekuasaan ekonomi dan politik. Lebih parah lagi, Tuhan dan agama kerap dijadikan pembenaran bagi tindakan kekerasan terhadap kelompok lain.
Cara beragama yang ideologis, politis bahkan menjurus radikal inilah yang tentunya bertentangan dengan Pancasila. Bahkan bisa dibilang, keberagamaan atau ketuhanan yang nir-kebudayaan itu adalah musuh besar Pancasila. Agama yang politis-ideologis, bahkan radikal akan menggerogoti eksistensi bangsa dan negara dari dalam.
Agama Sipil
Mempertentangkan agama dan Pancasila adalah sebuah hal yang kontra-produktif. Pancasila dan agama memang merupakan dua hal yang berbeda. Pancasila merupakan hasil rumusan manusia yang berdasarkan pada pencarian akal dan perenungan hati. Sedangkan agama berasal dari Tuhan yang diwahyukan pada para Nabi. Agama adalah sesuatu hal yang sakral, sementara Pancasila adalah hal yang profan. Namun demikian, meski memiliki perbedaan subtansial, tidak lantas berarti keduanya saling bertentangan. Kehadiran Pancasila juga tidak lantas diartikan sebagai upaya menghapus agama. Pancasila, sebagaimana kerap disebut dalam catatan sejarah lahir karena proses negosiasi antara kubu islamis dan kubu sekuleris.
Alih-alih berpolemik ihwal pertentangan antara agama dan Pancasila, apa yang seharusnya menjadi fokus kita saat ini ialah bagaimana membumikan aspek keagamaan dan ketuhanan dalam kerangka Pancasila. Keagamaan dan ketuhanan dalam kerangka Pancasila mencerminkan komitmen etis bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan yang berlandaskan pada nilai moral-etika dan budi pekerti luhur. Dalam konteks inilah, Pancasila harus didudukkan secara proporsional, yakni bahwa ia bukanlah agama yang berpretensi mengatur keyakinan, peribadatan, norma dan identitas keagamaan dalam ranah privat dan komunitas agama masing-masing.
Keagamaan dan ketuhanan dalam kerangka Pancasila menyerupai konsepsi “agama sipil” (civil religion) yang bisa melibatkan nilai-nilai moral universal agama-agama, namun juga secara jelas dapat dibedakan dari agama yang sesungguhnya. Pretensi agama sipil ialah bagaimana menjadikan nilai-nilai moral ketuhanan sebagai landasan pengelolaan kehidupan publik dalam konteks Indonesia yang multikultur dan multireliji tanpa menjadikan salah satu agama dan unsur keagamaan sebagai dasar hukum dan ideologi negara. Upaya menjadikan Pancasila sebagai agama sipil tentu membutuhkan tidak hanya niat baik, namun juga komitmen semua komunitas agama. Setiap kelompok agama dituntut untuk lebih mampu menempatkan diri dan menampilkan ajaran agama masing-masing sebagai pembawa kemaslahatan sosial bagi semua manusia. Ke depan, semua kelompok agama harus berani menerobos sekat-sekat eksklusivisme dan mampu membangun kultur keberagamaan yang didasari nilai-nilai inklusivisme. Pada dasarnya, setiap agama memiliki ajaran tentang kepedulian sosial. Adalah tugas para pemeluknya untuk mencari titik temu untuk membentuk semacam agama sipil bagi pengelolaan ruang publik bersama.
This post was last modified on 21 Februari 2020 1:56 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
View Comments
Great content! Super high-quality! Keep it up! :)