Narasi

Menjaga Komitmen Kebangsaan di Tengah Tatanan Global yang Rapuh

Dunia sedang berada dalam persimpangan yang genting. Eskalasi konflik geopolitik di berbagai belahan dunia—dari perang Rusia-Ukraina, krisis di Timur Tengah, hingga terbaru ketegangan Israel vs Iran yang ditopang juga intervensi Amerika. Konflik yang semakin terbuka ini telah mengguncang tatanan global pasca-Perang Dingin.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Tentu sebagai negara yang mempunyai komitmen dalam menghapus penjajahan dunia dan terciptanya perdamaian abadi, Indonesia harus mempunyai andil dan peran. Namun, di dalam negeri, Indonesia perlu memperkuat salah satu fondasi paling penting dalam sejarahnya: komitmen kebangsaan. Kenapa hal itu penting?

Francis Fukuyama, dalam karya terkenalnya The End of History and the Last Man (1992), pernah menyatakan bahwa liberalisme dan demokrasi telah mencapai kemenangan historis yang menjanjikan stabilitas dunia. Namun, kenyataan beberapa dekade kemudian menunjukkan bahwa kemenangan itu belum final. Justru, saat ini dunia menyaksikan kebangkitan nasionalisme sempit, populisme radikal, dan perang identitas yang justru melemahkan sistem demokrasi itu sendiri.

Sebaliknya, Samuel P. Huntington, melalui The Clash of Civilizations (1996), memberikan peringatan dini: konflik besar di masa depan bukan lagi sekadar konflik ideologi atau ekonomi, melainkan konflik budaya dan identitas. Pandangan ini tampaknya makin relevan hari ini, saat konflik di banyak negara sering dibingkai dalam narasi “kami” versus “mereka”—baik dalam konteks agama, ras, maupun kebangsaan.

Dalam lanskap global yang rapuh ini, Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dihadapkan pada tantangan ganda. Di satu sisi, kita mesti tetap terlibat dalam percaturan global untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan hak asasi manusia. Namun di sisi lain, kita juga harus waspada terhadap infiltrasi narasi global yang dapat membelah dan merusak fondasi kebangsaan dari dalam.

Ancaman Global Berdampak pada Ketahanan Nasional

Ketika krisis global memburuk, dampaknya akan terasa di berbagai aspek domestik: ekonomi, sosial, politik, bahkan spiritual. Konflik global bisa memicu disinformasi, polarisasi opini publik, hingga perpecahan sosial jika tidak diantisipasi dengan arif. Narasi-narasi asing yang dibungkus dalam semangat solidaritas, namun sesungguhnya membawa agenda ideologis, bisa menyusup dan memprovokasi kelompok masyarakat tertentu.

Dalam konteks ini, menjaga komitmen kebangsaan bukanlah slogan kosong, melainkan strategi bertahan (defensive strategy) di tengah dunia yang semakin tidak pasti. Di saat dunia mengalami friksi dan fragmentasi, Indonesia harus menjadi contoh bagaimana keberagaman bisa dikelola dengan prinsip gotong royong, bukan saling curiga.

Kita harus memperkuat kerja sama lintas kelompok, lintas agama, dan lintas daerah untuk meneguhkan bahwa persatuan adalah jalan satu-satunya untuk tetap berdiri tegak sebagai bangsa merdeka. Bukan semakin memperkeruh dengan narasi hoaks, disinformasi dan adu domba yang semakin melunturkan persaudaraan.

Waspadai Provokasi, Perkuat Kolaborasi

Sejarah mengajarkan bahwa krisis global sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengadu domba masyarakat dalam negeri. Terkadang, emosi atas ketidakadilan global dimanipulasi menjadi amarah terhadap sesama anak bangsa yang berbeda pandangan. Tatanan global yang tidak stabil menjadi ladang subur bagi narasi kebencian, teori konspirasi, dan agitasi identitas yang membelah masyarakat.

Inilah saatnya memperkuat literasi geopolitik dan sejarah di kalangan publik, khususnya generasi muda. Kita harus memahami bahwa tidak semua isu global relevan untuk direproduksi secara utuh di dalam negeri. Setiap reaksi harus melewati filter kebangsaan—yakni, apakah itu memperkuat persatuan atau justru menyulut perpecahan.

Komitmen kebangsaan artinya membela rakyat Indonesia tanpa membedakan asal, agama, atau afiliasi politiknya. Komitmen itu menuntut kesediaan untuk duduk bersama dalam menghadapi krisis global, membangun ketahanan sosial, dan menyuarakan suara damai Indonesia ke panggung dunia.

Ketika dunia menghadapi potensi disintegrasi tatanan global, bangsa Indonesia harus memilih: menjadi penonton yang terpecah oleh narasi asing, atau menjadi bangsa kuat yang berdiri di atas persatuan dan gotong royong. Pilihan kita hari ini akan menentukan posisi kita di masa depan—apakah akan hanyut oleh ombak global, atau menjadi batu karang yang kokoh menahan badai.

Seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri.” Dalam menghadapi era penuh gejolak ini, berdiri di atas kaki sendiri hanya mungkin jika seluruh komponen bangsa menjaga komitmen kebangsaan—bukan hanya dalam simbol, tetapi dalam tindakan nyata: bersatu, bekerja sama, dan tak mudah terprovokasi.

Farhah Sholihah

Recent Posts

80 Tahun NKRI; Merdeka dari Penjajahan Mental Berkedok Gerakan Keagamaan Trans-Nasional

Jika diibaratkan manusia, usia 80 tahun tentu telah menjalani berbagai fase kehidupan. Demikian juga perjalanan…

14 jam ago

Merdeka dari Ideologi Radikal: Jalan Menuju Indonesia Berdaulat, Bersatu, Sejahtera dan Maju

Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus selalu menjadi momen special bagi seluruh masyarakat Indonesia.…

14 jam ago

Kemerdekaan Digital; Sterilisasi Medsos dari Algoritma Kebencian dan Perpecahan

Menjelang perayaan HUT RI ke-80, media sosial sempat diramaikan oleh fenomena pengibaran bendera bajak laut…

14 jam ago

Tepo Seliro: Mengeja Cinta dengan Kearifan Budaya

Di tengah gejolak global yang ditandai oleh polarisasi ideologis dan sentimen sektarian yang semakin keras,…

4 hari ago

Strategi Mendekatkan Ajaran Agama Cinta dengan Generasi Muda

Di tengah pesatnya arus globalisasi dan digitalisasi, generasi muda saat ini hidup dalam era yang…

4 hari ago

Asmaul Husna Cinta; Menafsirkan Konsep Mahabbah dalam Konteks Nusantara

Di dalam Islam, Tuhan (Allah) memiliki 99 nama untuk merepresentasikan sifat-sifat-Nya. Itulah yang disebut Asmaul…

4 hari ago