Narasi

Menyoal Dikotomi Sekolah Islam dan Sekuler; Bagaimana Mendefinsikan Kesalehan Anak dalam Bingkai NKRI?

Dalam tradisi setiap masyarakat di Indonesia, semua bayi yang baru saja lahir pasti didoakan dengan satu kalimat sederhana; semoga menjadi anak yang salih/ah. Kalimat itu bahkan nyaris menjadi klise dalam pergaulan sosial kita. Namun, kita tidak atau belum benar-benar merumuskan dengan serius, apa makna dari kata salih tersebut?

Dalam bahasa yang sederhana, istilah salih dalam pandangan masyarakat adalah anak yang menurut pada ajaran agama (halal-haram), patuh pada norma sosial (pantas-tidak pantas), dan tentunya taat pada hukum negara (legal-ilegal).

Namun, belakangan makna salih itu pun mengalami semacam pergeseran, utamanya di kalangan kelompok konservatif. Makna salih bergeser bukan sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum agama, negara, dan masyarakat, namun kepatuhan terhadap doktrin aliran tertentu. Terutama doktrin di kalangan salafi-wahabi.

Definisi anak soleh bergeser menjadi anak yang memegang teguh manhaj salaf, mengenakan pakaian muslim (bercadar bagi perempuan), tidak mendengarkan musik, bahkan hanya berteman dengan sesama muslim atau yang sealiran. Makna anak salih menjadi sangat eksklusif.

Pergeseran definisi itu bukan sebuah kebetulan. Itu memang skenario yang sengaja disusun oleh kelompok radikal. Mereka ingin membajak makna soleh dan membranding ulang bahwa anak solih adalah yang sesuai dengan pandangan keagamaan mereka. Jika belum mengadaptasi ajaran salafi-wahabi, maka belum disebut sebagai anak soleh.

Pergeseran ini juga lantas melahirkan fenomena dikotomi dalam pendidikan kita, yakni munculnya pembedaan antara sekolah islam dan sekolah sekuler. Dikotomi ini mulai muncul di awal tahun 2000-an ketika sekolah berbasis agama Islam mulai bermunculan. Pasca Reformasi, sekolah Islam yang sebelumnya cenderung dibatasi di masa Orde Baru mulai menjamur.

Masyarakat pun mengalami euforia kemunculan Sekolah Islam Terpadu yang menerapkan program full day school. Sekolah ini dianggap berbeda dan lebih baik ketimbang sekolah negeri atau swasta non-keagamaan karena memberikan pelajaran agama dengan porsi lebih besar. Pelajaran agama dianggap sebagai jurus jitu membentuk karakter anak.

Euforia sekolah berbasis Islam, terutama di level sekolah dasar ini membuat pamor sekolah negeri menurun drastis. Bahkan, kini banyak sekolah negeri di kota-kota besar kekurangan murid, karena banyak orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah dasar swasta islam. Dikotomi sekolah Islam dan sekuler ini cenderung problematik.

Sekuler selama ini dipahami secara negatif sebagai bentuk privatisasi agama. Dalam artian, agama dianggap sebagai urusan pribadi. Sekolah sekuler berkonotasi sebagai sekolah yang tidak mementingkan agama. Padahal realitanya tidak demikian. Sekolah negeri dari level dasar hingga menengah atas di Indonesia sangat kental dengan nuansa relijius. Siswi perempuan muslim hampir pasti berjilbab. Pelajaran agama Islam pun mendapat porsi yang sama dengan pelajaran umum lainnya. Tidak hanya itu, setiap sekolah negeri dipastikan memiliki mushola, bahkan sebagian lainnya membangun masjid dengan arsitektur megah. Unit kegitan rohis pun menjadi hal yang tidak boleh absen di sekolah negeri. Lantas, dimana letak sekulernya?

Dikotomi sekolah sekuler dan sekolah islam bisa dibaca dari setidaknya dua sisi. Pertama, ada kesan bahwa dikotomi sekolah negeri dan swasta adalah bagian dari strategi pemasaran untuk memasarkan sekolah swasta Islam yang umumnya berbiaya mahal. Kedua, tidak menutup kesan bahwa dikotomi ini sengaja didesain untuk membenturkan antara Islam di satu sisi dan agama di sisi lain. Propaganda itu tentu tujuan akhirnya adalah untuk mengadu-domba umat dengan pemerintahan yang sah.

Propaganda itulah yang patut kita lawan bersama. Kita harus membongkar dikotomi sekolah islam dan sekuler. Bahwa dikotomi itu adalah narasi yang sengaja dibuat kelompok konservatif untuk tujuan adu domba. Pembedaan sekolah negeri dan sekolah swasta memang ada. Sekolah negeri dikelola oleh pemerintah sedangkan swasta bisa dikelola yayasan atau individu. Namun, pembedaan sekolah islam dan sekuler itu adalah teknik adu-domba khas kaum konservatif radikal.

Selain membongkar dikotomi sekolah islam dan sekuler, kita juga wajib mengembalikan definisi anak solih sesuai makna asalnya. Definisi anak soleh harus dikembalikan ke bingkai NKRI, bukan ditarik ke dalam sentimen golongan atau manhaj. Bahwa anak solih adalah anak yang patuh pada ajaran Islam yang universal, bukan yang dihegemoni oleh tafsir manhaj salafi, tunduk pada norma sosial masyarakat, dan taat pada hukum positif negara.

Anak solih dalam bingkai NKRI adalah anak yang memiliki kesadaran dan komitmen untuk mengakui dan menghormati perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Anak solih dalam hal ini dimaknai secara komprehensif, baik dari sisi teologis, sosiologis, maupun ideologis. Secara ideologis, anak solih adalah anak yang menerapkan prinsip dan nilai Pancasila dalam laku hidupnya.

Peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli kiranya menjadi momentum untuk mengembalikan definisi anak solih dalam kerangka NKRI. Anak-anak adalah aset masa depan bagi bangsa. Menjaga fitrah anak sebagai makhluk toleran adalah investasi penting untuk bangsa. Salah satu bentuk investasi itu adalah dengan mengembalikan hakikat anak solih dalam perspektif keindonesiaan.

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Sudahkah Kita Kritis Memilihkan Sekolah Keagamaan untuk Anak?

Pada tahun 2018, The Conversation pernah menerbitkan tulisan tentang tipologi sekolah yang rentan terpapar paham…

9 menit ago

Strategi Jangka Panjang Melindungi Generasi Emas dari Virus Intoleransi

Pada peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli mendatang, kita diingatkan akan pentingnya…

10 menit ago

Menghidupkan Kembali Dakwah Nusantara yang Akulturatif dan Akomodatif di Tengah Gempuran Dakwah Transnasional

Dakwah Islam di Nusantara memiliki sejarah panjang yang khas dan membedakan diri dari banyak model…

3 hari ago

Dakwah Bil Hikmah : Anjuran Al-Quran untuk Beradaptasi dengan Kearifan Lokal

Ada maqalah yang sangat menarik bahwa Al-haq bilâ nizham yaghlibuhul bâthil bin nizham." Arti sederhananya…

3 hari ago

Dakwah Puritan; Syiar Islam yang Tidak Relevan dengan Konteks Keindonesiaan

Dakwah puritan atau dakwah yang kencang mengkampanyekan pemurnian agama menjadi tren yang semakin menonjol dalam…

3 hari ago

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

4 hari ago