Dakwah Islam di Nusantara memiliki sejarah panjang yang khas dan membedakan diri dari banyak model dakwah di belahan dunia lain. Sejak awal penyebarannya, Islam hadir bukan dalam bentuk ekspansi militer atau penaklukan paksa, melainkan melalui pendekatan kultural yang akomodatif. Para masa silam meramu dakwah dengan kearifan lokal, memadukan ajaran Islam dengan budaya setempat tanpa menanggalkan esensi keimanan. Inilah warisan dakwah Nusantara—sebuah model dakwah yang menjunjung tinggi toleransi, menerima keberagaman, serta menghormati tradisi sebagai jembatan dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, dakwah seperti ini seakan tergerus oleh gempuran model dakwah transnasional yang keras, rigid, dan eksklusif. Masuknya ideologi keislaman dari Timur Tengah dengan pendekatan purifikasi dan penolakan terhadap budaya lokal, telah menimbulkan benturan kultural yang signifikan. Di ruang-ruang digital, masjid, hingga institusi pendidikan, narasi keagamaan yang bersifat hitam-putih mulai mendominasi, menggantikan narasi Islam yang lentur, moderat, dan berakar pada nilai-nilai lokal.
Fenomena ini tentu patut menjadi perhatian. Bukan karena perbedaan mazhab atau pandangan fikih semata, tetapi karena dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkannya terhadap umat. Dakwah transnasional kerap membawa semangat penghakiman terhadap tradisi lokal, melabeli amalan tertentu sebagai bid’ah, syirik, atau bahkan kufur. Ketimbang mengajak, dakwah jenis ini justru menjauhkan umat dari agama yang ramah dan membumi. Alih-alih menjadi rahmat bagi semesta, dakwah transnasional justru kerap berujung pada konflik.
Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali dakwah Nusantara. Model ini bukanlah warisan usang, tetapi solusi kontekstual yang tetap relevan dalam kehidupan masyarakat majemuk. Dakwah Nusantara lahir dari pemahaman mendalam terhadap struktur sosial, budaya, dan psikologi masyarakat Indonesia. Para wali dan ulama Nusantara masa lalu memahami betul bahwa penyebaran agama tidak bisa dilepaskan dari konteks lokal. Karena itu, mereka tidak sekadar menyampaikan Islam secara tekstual, tetapi juga secara kultural.
Contoh paling kentara adalah bagaimana Sunan Kalijaga berdakwah dengan seni wayang, tembang, dan gamelan. Sunan Bonang menggunakan suluk dan kidung Jawa sebagai media penyampaian pesan-pesan tasawuf. Sunan Kudus bahkan membangun masjid dengan arsitektur Hindu-Buddha agar masyarakat setempat tidak merasa teralienasi. Ini semua merupakan strategi akulturatif yang sangat cerdas dan efektif. Dakwah tidak sekadar soal menyampaikan kebenaran, tetapi juga soal bagaimana kebenaran itu diterima oleh masyarakat.
Kini, kita dituntut untuk melanjutkan spirit dakwah semacam itu. Bukan dengan menghidupkan bentuk fisiknya secara romantis, tetapi dengan mewarisi semangat dasarnya: akomodatif, inklusif, dan kultural. Di tengah arus globalisasi digital, kita justru memiliki peluang besar untuk menampilkan wajah Islam Nusantara kepada dunia. Media sosial, kanal YouTube, podcast, dan platform daring lainnya bisa menjadi panggung baru bagi dakwah akulturatif untuk menjangkau generasi muda. Mereka yang selama ini dicekoki narasi keagamaan keras dari Timur Tengah, bisa diperkenalkan pada Islam yang ramah.
Di tingkat akar rumput, para kiai kampung, ustaz lokal, dan guru ngaji perlu diberdayakan kembali. Mereka adalah penjaga otentik Islam Nusantara yang dekat dengan masyarakat. Dakwah mereka yang sederhana, penuh kasih, dan kontekstual sangat dibutuhkan di tengah derasnya konten-konten keagamaan asing yang asing dari realitas sosial kita.
Di tengah dunia yang makin terpolarisasi oleh tafsir keagamaan yang ekstrem, Islam Nusantara hadir sebagai oase yang meneduhkan. Islam yang tidak marah pada budaya, tidak benci pada perbedaan, dan tidak menjauh dari realitas masyarakatnya. Inilah wajah Islam yang perlu terus kita jaga dan sebarkan—bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia.
Ada maqalah yang sangat menarik bahwa Al-haq bilâ nizham yaghlibuhul bâthil bin nizham." Arti sederhananya…
Dakwah puritan atau dakwah yang kencang mengkampanyekan pemurnian agama menjadi tren yang semakin menonjol dalam…
Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…
Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu…
Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…
Viralnya festival Pacu Jalur di Riau baru-baru ini bukan hanya membanggakan dalam konteks kebudayaan, tetapi juga menyimpan…