Pada tahun 2018, The Conversation pernah menerbitkan tulisan tentang tipologi sekolah yang rentan terpapar paham radikal. Riset ini adalah project kolaborasi Indonesia-Australia pada tahun 2017 yang berjudul asli “Are Islamic schools in Indonesia educating for or against religious extremism?”.
Meskipun ini adalah penelitian lama, saya rasa isunya masih relevan hingga saat ini. Menyadur Jajak Pendapat Tim Jurnalisme Data Kompas (17/7/25), preferensi orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah swasta berbasis agama semakin kuat.
Tulisan ini mengurai sedikit anatomi kerentanan pada sekolah-sekolah swasta berbasis agama itu. Bukan bemaksud su’uzon pada sekolah agama itu, tetapi ini bisa menjadi bekal pertimbangan orang tua untuk lebih selektif memilih instansi pendidikan bagi anaknya.
Riset ini mengungkap tiga pola khusus bagaimana sekolah justru menjadi agen yang mereproduksi paham radikal pada siswa. Pertama sekolah tertutup (closed schools). Ciri-ciri sekolah tertutup adalah mengajarkan sikap yang sempit dan cenderung menutupi ide-ide dan perkembangan dari luar alih-alih menerima perbedaan.
Riset tersebut mengungkap bahwa salah satu sekolah sampel menjelaskan pentingnya mempelajari peradaban Islam (tsaqofah Islamiyah) sebagai benteng untuk melawan globalisasi Barat.
Saya menangkap itikad baik itu ketika sekolah mengajarkan peradaban Islam kepada anak didik. Tetapi itu harusnya hanya sampai pada kebanggaan umat Muslim pada sejarahnya yang luhur, tidak diarahkan kepada agenda politis.
Selain membenturkan peradaban Islam dan Barat, sekolah yang mempunyai tipologi tertutup ini menekankan pentingnya praktik ajaran Islam versi mereka dan menutup mata pada spektrum ekspresi keagamaan yang lain.
Kedua, sekolah yang berisiko menumbuhkan ajaran radikal adalah tipe sekolah terpisah (separated school). Sekolah jenis ini bisa dilihat dari cara mereka merekrut guru dan partisipasi mereka dalam kegiatan sosial keagamaan.
Sekolah terpisah sangat “ketat” dalam proses perekrutan guru, terutama guru agama. Ketat yang dimaksud bukan karena proses seleksi berbasis merit yang panjang, tetapi hanya menerima rekomendasi dari jejaring mereka atau merekrut alumni yang mempunyai (ideologi) paham Islam yang sama.
Selain itu, sekolah tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat yang tidak sesuai dengan paham mereka. Sekolah tipe ini sangat berbeda dengan sekolah Islam lainnya yang menerapkan konsep terintegrasi (integrated schools). Beberapa sekolah yang berafiliasi dengan organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak mempermasalahkan latar belakang kelompok Islam yang berbeda.
Salah seorang kepala sekolah dari sekolah NU misalnya menyatakan bahwa di sekolahnya terdapat guru-guru yang berlatar belakang Muhammadiyah. Sekolah-sekolah ini juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat, termasuk mengikuti kegiatan antar agama.
Tipologi terakhir adalah sekolah yang mengajarkan identitas Islam murni (schools with pure Islamic identity). Tipe sekolah ini bisa dilihat dari cara sekolah mengkonstruksi identitas Muslim. Sekolah ini menjadikan Islam sebagai konstruksi identitas tunggal dan menolak identitas-identitas yang lain.
Hal ini berbeda dengan sekolah Islam yang lain yang cenderung mengganggap bahwa identitas sebagai Muslim dan identitas lainnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sekolah Islam moderat biasanya tidak mempertentangkan identitas sebagai muslim dan identitas sebagai warga negara Indonesia.
Ketika sebuah sekolah memunculkan identitas muslim yang tunggal, sekolah tersebut menumbuhkan sikap radikal karena mereka hanya mempunyai penafsiran Islam tunggal sesuai dengan aliran mereka.
Kepala sekolah dari sekolah model ini biasanya menjelaskan bahwa semua siswa harus mengikuti semua ritual agama yang dianut di sekolah meski mereka berasal latar belakang organisasi Islam yang berbeda.
Meminjam salah satu konsep kunci dari Pierre Bourdieu, kekerasan simbolik (symbolic violence), ancamannya sama sekali tidak terlihat, laten, dan sangat lembut. Mudahnya, korban tidak akan merasakan jika dirinya berada dalam ruang kekerasan, korban justru menerima dan menyetujui posisinya, bahkan dia merasakan berada dalam posisi yang seharusnya dan sepantasnya.
Prinsip simbolik ini disadari dan diterima baik oleh kedua belah pihak; pihak dominan yang menguasai dan pihak subdominan yang dikuasai. Prinsip simbolik ini menyerang dan menentukan cara berpikir, mindset, dan tindakan sebuah kelompok atas kelompok lainnya. Menurut Bourdieu, kekerasan simbolik muncul dari adanya struktur kelas dalam masyarakat.
Dalam pengertian ini, anak didik adalah pihak subdominan yang menjadi korban kuasa dari sekolah sebagai objek dominan. Riset di The Conversation itu mengungkap sebuah pernyataan kepala sekolah yang mengatakan bahwa walau siswa berlatar belakang NU yang membaca qunut, setelah masuk sekolah, siswa tersebut diajarkan untuk tidak lagi mempraktikkannya.
Identitas tunggal dan penolakan terhadap identitas-identitas lain juga cenderung memunculkan sikap “kami melawan mereka” (we versus them) sehingga memunculkan upaya pengkotak-kotakan seperti Muslim dan non-muslim bahkan antar sesama Muslim yang memiliki penafsiran agama yang berbeda.
Pola ajar ini sangat berbeda dengan sekolah lain yang memberikan kewenangan kepada guru agama untuk memberikan keleluasaan siswa untuk mengekspresikan apapun ritus keagamaannya.
Sebagai contoh, sekolah dan pondok pesantren Bumi Cendekia di Yogyakarta mengajarkan anak didiknya untuk tidak hanya menginternalisasi nilai-nilai keagamaan, tetapi juga difasilitasi untuk berinteraksi dengan peradaban luar. Mereka menghadirkan tamu asing dari Australia, Jepang, Amerika untuk berdialog dan berdiskusi dengan santri seputar diskursus global.
Walakhir, anatomi ancaman di instansi pendidikan tersebut menuntut orang tua untuk lebih hati-hati dalam memilihkan sekolah untuk anak. Bisa jadi, lisan anak jadi doyan berzikir, tetapi kemudian memandang sinis temannya yang berbeda agama. Ini tentu bukan ujung pola asuh yang diinginkan oleh Rasulullah dan Islam itu sendiri.
Pada peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli mendatang, kita diingatkan akan pentingnya…
Dalam tradisi setiap masyarakat di Indonesia, semua bayi yang baru saja lahir pasti didoakan dengan…
Dakwah Islam di Nusantara memiliki sejarah panjang yang khas dan membedakan diri dari banyak model…
Ada maqalah yang sangat menarik bahwa Al-haq bilâ nizham yaghlibuhul bâthil bin nizham." Arti sederhananya…
Dakwah puritan atau dakwah yang kencang mengkampanyekan pemurnian agama menjadi tren yang semakin menonjol dalam…
Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…