Keberadaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua telah menjadi duri dalam daging bagi bangsa dan negara. Sejak era Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi, kelompok separatis selalu membangun opini bahwa pemerintah bersikap tidak adil pada rakyat Papua.
Asumsi itu boleh jadi benar dalam konteks masa lalu. Namun, kondisi Papua sekarang sudah berubah. Kebijakan otonomi daerah memberikan angin segar bagi Papua. Dana otonomi khusus triliunan rupiah mengalir ke Papua saban tahunnya. Di era Presiden Joko Widodo, pembangunan infrastruktur sangat masif.
Namun, gerakan separatisme nyatanya tidak mereda. Bahkan, KKB kian brutal. Mereka meneror warga sipil, bahkan menjadikan anak dan perempuan sebagai tameng ketika terdesak aparat. Ini membuktikan bahwa agenda KKB bukanlah memperjuangkan kesejahteraan Papua, alih-alih memperjuangkan kekuasaan politik yang nantinya akan dinikmati oleh segelintir kalangan.
Di titik ini, relevan kiranya mengutip pernyataan Abdurrahman Wahid. Di masa kepemimpinannya, Gus Dur berkata “berikan apa pun yang diminta masyarakat Papua, asal jangan kemerdekaan”. Pernyataan itu menyiratkan pesan bahwa NKRI ialah keputusan final yang tidak bisa dianulir siapa pun. Artinya, persoalan apa pun bisa dinegosiasikan, kecuali kehendak merdeka dari NKRI.
KKB dan Kejahatan Kemanusiaan Luar Biasa
Mengapa kita dilarang berkomporomi pada KKB? Karena sejatinya, gerakan separatis itu bertentangan dengan aspek yuridis maupun teologis. Dari susut pandang yuridis, KKB merupakan gerakan makar melawan pemerintahan yang sah.
Secara yuridis, KKB bukan gerakan kriminal biasa. Berbeda dari kriminal biasa yang umumnya memiliki motif ekonomi, KKB lebih didasari motif politis-ideologis. Tujuan KKB ialah memisahkan diri dari NKRI dengan jalan mengangkat senjata, cara kekerasan, dan mengorbankan masyarakat sipil.
Merujuk UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, KKB bisa dikategorikan sebagai terorisme. Dalam UU tersebut yang dimaksud terorisme ialah perbuatan kekerasan yang menimbulkan korban dan memicu rasa cemas dan takut publik. Mengacu definisi tersebut, KKB sangat layak dicap sebagai teroris. Sejarah mencatat, KKB identik dengan praktik kekerasan dan teror yang menimbulkan kepanikan publik.
Pelabelan KKB sebagai teroris itu juga sesuai dengan Resolusi PBB tentang Terrorrist Bombing dan Financial Terrorism yang disahkan pada tahun 2002 lalu. Ini artinya, dari sisi hukum nasional maupun internasional, penetapan KKB sebagai teroris sudah tepat dan legal.
Dari sisi teologis, kekerasan dan teror yang dilakukan juga bertentangan dengan prinsip dasar semua agama. Agama hadir dengan spirit cinta damai dan anti-kekerasan. Di dalam ajaran semua agama, hak hidup manusia ialah hal yang wajib dijaga. Penghilangan nyawa manusia atas dasar hasrat pada kekuasaan ialah hal yang sangat dikutuk oleh ajaran semua agama.
Pandangan Islam dan Kristen tentang Gerakan Pemberontakan
Di dalam ajaran Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, pemberontakan ialah perbuatan haram. Melawan pemerintahan yang sah tanpa alasan atau bukti kuat bahwa penguasa itu melanggar syariah ialah tindakan yang menyalahi hukum agama.
Dalam konteks agama Kristen yang menjadi mayoritas di Papua, melawan pemerintah yang sah itu pada dasarnya sama dengan melawan kekuasaan Tuhan. Surat Rasul Paulus kepada umat Kristen di Roma (Rm. 13:1-7) mengharuskan umat Kristen untuk tunduk dan patuh pada pemimpin dan pemerintah.
Sikap patuh itu ditunjukkan dengan setidaknya dua hal. Yakni tidak melawan pada kebijakan pemerintah dan taat dalam membayar pajak. Nasihat Paulus itu juga menyebutkan bahwa sejauh pemerintah tidak membahayakan rakyat, maka umat diwajibkan patuh dan taat pada aturan atau kebijakannya.
Prinsipnya secara teologis, agama-agama besar menyerukan umatnya untuk patuh dan taat pada pemerintahan yang sah. Batas kepatuhan dan ketaatan itu ialah ketika pemerintah bertindak zalim pada rakyatnya. Jika batas itu dilampuai, maka rakyat boleh melawan dengan sejumlah catatan. Salah satunya ialah dengan tidak menjadikan masyarakat sipil sebagai obyek kekerasan apalagi dikorbankan untuk ambisi merebut kekuasaan.
Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa dari sisi yuridis maupun teologis gerakan separatis KKB ini tidak dapat dibenarkan. Tindakannya yang mengeksploitasi kekerasan apalagi terhadap warga sipil jelas melanggar hukum negara dan ajaran agama. Maka, tidak ada alasan untuk bersikap permisif atau lunak pada KKB. Apalagi dengan argumen HAM dan demokrasi.
Konsep HAM dimunculkan pertama kali untuk melindungi hak dan martabat manusia dari segala macam ancaman. Bukan untuk melindungi kelompok kriminal apalagi pemberontak yang sepak terjangnya justru mencederai HAM. Demikian pula, demokrasi didesain untuk memberikan ruang partisipasi publik seluas-luasya dalam pengambilan keputusan strategis.
Demokrasi tidak pernah didesain untuk memberikan ruang bagi muncul dan berkembangnya gerakan separatis yang gemar menebar teror dan menjadikan masyarakat sipil sebagai martir perjuangan mereka.
This post was last modified on 14 Maret 2023 2:24 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…