Narasi

Menyoal Urgensi Aksi 411; Waspada Delegitimasi Kekuasaan di Masa Transisi

Di media sosial beredar video rekaman Rizieq Shihab yang menyerukan aksi Reuni Akbar Gerakan 411. Aksi 411 sebagaimana dijelaskan dalam video itu akan dilaksanakan pada Senin, 4 November 2024 di depan Istana Negara, Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, aksi itu mengusung tuntutan untuk mengadili mantan Presiden Jokowi Widodo. Aksi ini konon akan dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI).

Ada banyak kejanggalan dalam seruan aksi Reuni Akbar Gerakan 411 ini. Pertama, bukankah FPI merupakan organisasi yang sudah dibubarkan dan dilarang pemerintah? Lantas, mengapa aksi ini justru mengklaim dimotori oleh FPI. Dengan kata lain, aksi ini dilakukan oleh ormas terlarang yang artinya aksinya juga ilegal dan melanggar hukum.

Kedua, tuntutan mengadili Jokowi adalah sebuah seruan yang absurd. Bagaimana tidak? Jokowi adalah presiden Indonesia selama dua periode Indonesia. Selama itu pula ia tidak tersangkut kasus hukum. Lantas, apa yang melatari munculnya tuntutan untuk mengadili Jokowi ini?

Ketiga, aksi 411 dilakukan di masa transisi kepemimpinan atau kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo. Di masa transisi ini, seharusnya kita menjaga situasi tetap aman dan kondusif. Apa yang dilakukan oleh Rizieq Shihab dan FPI berpotensi merusak kondusifitas masa transisi.

Mengungkap Motif Aksi Massa di Masa Transisi

Disinilah kita patut menyoal apa urgensi mengadakan aksi massa di tengah masyarakat transisi. Apalagi yang mendalangi aksi itu dikenal sebagai sosok yang provokatif, kontroversial, dan gemar mengumbar ujaran kebencian. Ditambah lagi, FPI sebagai endorser aksi massa ini juga merupakan ormas terlarang. Jika dilihat secara obyektif, tampaknya aksi massa bertajuk Reuni Akbar Gerakan 411 ini memiliki sejumlah agenda tersembunyi.

Pertama, aksi ini merupakan ajang caper alias cari perhatian. Meraka, kelompok eks-FPI dan para simpatisannya ini seolah ingin mengatakan bahwa mereka masih eksis. Tindakan caper ini dilakukan agar pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto memberikan perhatian.

Aksi massa adalah sebuah pertunjukan kekuatan (show of power) yang dijadikan sebagai alat penawaran. Tentu mereka punya maksud terselubung di balik itu. Misalnya, diajak terlibat dalam pemerintahan, diberikan jabatan publik, dan sebagainya. Dari perspektif ini, kita bisa menyimpulkan bahwa aksi Reuni 411 tidak lebih dari sebuah ajang caper mencari muka di hadapan penguasa baru.

Kedua, dalam konteks yang lebih luas kita patut waspada bahwa aksi ini punya agenda lain. Yakni mendelegitimasi pemerintahan baru. Seperti kita tahu, pemerintahan Prabowo kerap mengusung jargon keberlanjutan dari pemerintahan sebelumnya.

Terbukti, separuh menteri di kabinet baru Prabowo pun merupakan menteri di era Jokowi. Artinya, menyerang Jokowi dengan tuntutan mengadilinya secara hukum sebenarnya  juga serangan secara tidak langsung pada pemerintahan Prabowo. Hal inilah yang patut diwaspadai.

Waspada Delegitimasi Pemerintahan Baru

Jika mengutip pendapat pakar tatanegara James Wellington, salah satu tantangan pemerintahan baru adalah munculnya gerakan yang mengusung agenda delegitimasi. Pemerintahan baru sebagaimana lazimnya, pasti belum sepenuhnya solid.

Perlu waktu beberapa saat agar tim yang baru terbentuk itu untuk menyesuaikan diri dan membangun soliditas. Masa-masa awal akan menentukan arah pemerintahan di masa mendatang. Inilah fase krusial sekaligus kritis. Dan situasi itu rawan dimanfaatkan kaum oposisi destruktif untuk membangun gerakan delegitimasi bahkan subversi.

Inilah yang patut diwaspadai bersama. Kita patut berkaca dari peristiwa politik tahun 2017 dimana ibukota negara diwarnai demonstrasi masaa berjilid-jilid dengan tajuk bela agama.

Kita melihat sndiri bagaimana aksi mobokrasi yang dikemas dalam gerakan keagamaan itu berdampak pada kian suburnya intoleransi dan radikalisme. Demo berjilid-jilid tahun 2017 adalah cerita kelam demokrasi yang seharusnya tidak terulang.

Kini, di era kepemimpinan baru yang belum genap sebulan ini, tugas masyarakat adalah menjaga agar situasi tetap kondusif. Seluruh elemen masyarakat, termasuk tokoh agama dan ormas keaagamaan idealnya ikut andil menjaga stabilitas dan kondusifitas tersebut.

Bahkan justru memanas-manasi keadaan dengan menggelar aksi massa dengan tuntutan yang mengada-ada. Meski demikian, kita tidak perlu takut berlebihan. Waspada tentu wajib. Namun, paranoid tentu tidak perlu. Aksi massa Reuni 411 yang didalangi Rizieq Shihab dan FPI sepertinya tidak akan mampu menarik simpati umat.

Umat Islam hari sudah jauh lebih cerdas ketimbang beberapa tahun lalu. Umat Islam hari ini tentu bisa membedakan mana aksi yang murni membela kepentingan umat dan agama serta mana aksi yang hanya bertendensi caper dan berharap diberikan jabatan publik.

Nurrochman

Recent Posts

Epos Nusantara; Merawat Sejarah Kepahlawanan Berbasis Kearifan Lokal

Nusantara dikenal sebagai bangsa yang kuat dalam tradisi lisan atau tuturan. Berbagai warisan pemikiran, budaya,…

4 jam ago

Melepas Klaim Primordialisme Kepahlawanan

Banyak klaim, bahwa sejarah kemerdekaan bangsa ini “hanya” diperjuangkan oleh umat Islam saja. Lalu dipelintir…

4 jam ago

Mewaspadai Kebangkitan FPI Reborn: FPI Tetaplah FPI!

Aksi 411 yang digelar Front Persaudaraan Islam (FPI) pada 4 November di depan Istana Kepresidenan…

4 jam ago

Rapor Penanggulangan Terorisme Era Jokowi

Tahun 2013, organisasi teror Al-Qaeda in Irak (AQI) resmi berganti nama menjadi the Islamic State…

1 hari ago

Di Balik Klaim “Islam” dan Pemendaman Kaum Pribumi dari Sejarah Kemerdekaan

Membahas sejarah, pada dasarnya, adalah membahas kenangan yang tentunya hanya yang manis-manis yang lazim dimunculkan.…

1 hari ago

Peran Anak Muda dalam Menghidupkan Semangat Juang Pahlawan di Era Kini

Anak muda menghadapi berbagai kendala dan tantangan dalam menyambung semangat juang pahlawan bangsa di era…

1 hari ago