Narasi

Mewaspadai Metamorfosis Ormas Intoleran, Meneguhkan Ormas Berorientasi Kebangsaan

Kaum intoleran-radikal memang dikenal memiliki kemampuan seperti bunglon yang bisa berubah warna, menyesuaikan kondisi dan situasi yang dihadapinya. Hal ini mewujud pada manuver FPI (Front Pembela Islam). Sesaat setelah pemerintah resmi melarang organisasi tersebut, FPI pun bermetamorfosis menjadi Front Persatuan Islam. Apa yang dilakukan FPI tidak lebih dari pepatah lama, yakni “menaruh teh basi dalam cangkir baru”. Apa pun wadahnya, fakta bahwa teh tersebut sudah basi dan tidak layak minum adalah hal yang tidak bisa dibantah. Namun demikian, itulah watak kaum oportunis-pragmatis yang sesungguhnya.

Sejarah mencatat, gerakan radikalisme berbalut agama sudah ada di Indonesia sejak lama. Ini artinya, fenomena radikalisme agama sebenarnya bukan hal baru. Bermula dari gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), gerakan radikal Islam di Indonesia tumbuh ke dalam berbagai varian. Terlebih ketika gelombang gerakan Islam transnasional yang mengusung ideologi khilafah mulai masuk ke Indonesia di awal dekade 1990-an. Gerakan radikal itu memuncak pasca Reformasi 1998 ketika keran kebebasan dan demokrasi terbuka lebar. Najib Azca dalam artikelnya berjudul “Yang Madani Namu Intoleran?: Trayektori dan Variasi Gerakan Islam Radikal di Indonesia” membagi gerakan Islam radikal ke dalam tiga varian, yanki varian saleh, varian jihadis dan varian politik.

Varian saleh lebih berorientasi pada pembangunan moral-kesalehan invididu melalui jalur pendidikan dan kegiatan dakwah lainnya. Ada dalam gerbong ini ialah gerakan Tarbiyah dan gerakan kelompok Salafi. Sedangkan varian jihadis berorientasi pada agenda mengubah dasar dan konstitusi negara dari Pancasila ke ideologi Islam melalui jalur-jalur perjuangan kekerasan. Dalam varian ini terdapat ormas-ormas radikal seperti JI (Jamaah Islamiyyah), JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), JAD (Jamaah Ansharud Daulah) dan sebagainya. Sedangkan varian politik lebih bergerak di ranah advokasi dan politik praktis dengan memperjuangkan agenda formalisasi syariah. Dalam kelompok ini terdapat sejumlah ormas antara lain HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI serta sejumlah parpol Islam seperti PBB (Partai Bulan Bintang) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Klasifikasi itu diperlukan untuk melihat peta gerakan Islam radikal di Indonesia dan bagaimana kita (pemerintah, ulama dan masyarakat) harus bersikap. Gerakan radikal memang lihai berubah bentuk dan rupa demi mengelabuhi pemerintah dan masyarakat. Meski sudah dicap ilegal, sejumlah ormas Islam radikal diketahui masih menjalankan aktivitasnya, mulai dari merekrut anggota baru, melakukan kaderisasi-indoktrinasi sampai melancarkan aksi radikalisme-terorisme. JI misalya, diketahui masih melakukan pelatihan militer bagi jaringan teroris sebagaimana terungkap pihak kepolisian beberapa waktu lalu. Begitu pula HTI yang meski sudah dibubarkan namun tetap melakukan infiltrasi bawah tanah dan rajin mempropagandakan ideologi khilafah meski secara klandestin. Hal sama tampaknya juga dilakukan oleh FPI yang beralih rupa menjadi Front Persatuan Islam.

Dari namanya saja kita patut ragu. Bagaimana mereka bisa mewujudkan persatuan Islam jika rekam jejak gerakannya selama ini justru lebih kerap memunculkan perpecahan, tidak hanya di kalangan internal umat Islam, namun juga bagi bangsa Indonesia? Disinilah pentingnya kita membangun kewaspadaan dini untuk membendung manuver FPI dan ormas-ormas radikal sejenis yang lihai meniru mekanisme bunglon dalam mengkamuflasekan diri. Diperlukan kerjasama dan sinergi yang solid antara pemerintah (umara) dan tokoh agama (ulama) serta masyarakat umum (umat) untuk membendung laju intoleransi dan radikalisme yang lihai berubah bentuk dan rupa.

Memperkuat Muhammadiyah dan NU Sebagai Benteng Kebangsaan

Di satu sisi, upaya pemerintah memberangus intoleransi dan radikalisme hendaknya tidak hanya berhenti pada tindakan mencabut legalitas ormas-ormas seperti HTI atau FPI. Lebih dari itu, pemerintah harus masuk dan fokus pada persoalan yang lebih subtansial dari itu, yakni perang ideologi antara Pancasila yang berorientasi kebangsaan dengan ideologi radikal yang bertujuan mengubah dasar dan falsafah negara. Medan pertempuran yang sesungguhnya terjadi bukan di ranah legal-formal melainkan terjadi di ranah publik yang bebas, terutama di kanal-kanal jaringan maya, tempat dimana ideologi radikalisme biasa disebarkan.

Dalam konteks inilah, penting bagi pemerintah untuk terus mempromosikan dan menguatkan wawasan kebangsaan di kalangan masyarakat luas. Pemerintah wajib memastikan bahwa ideologi Pancasila harus tertancap kuat di sanubari setiap warganegara. Kerja berat itu tentu tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendirian. Oleh karena itu, pemerintah wajib menggandeng ulama dan ormas keagamaan yang memiliki komitmen tinggi pada kebangsaan dan Pancasila. Di lingkup Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) ialah dua ormas yang selama ini memiliki komitmen penuh membela bangsa dan negara dari ancaman ideologi asing, baik yang berorientasi ke kiri (sosialisme-komunisme) maupun kanan (khilafahisme). Maka, sudah sepatutnya pelarangan FPI ini dibarengi dengan upaya meneguhkan ormas-ormas keislaaman berhaluan kebangsaan seperti Muhammadiyah dan NU.

Diperlukan kerjasama yang intensif antara pemerintah dan ormas-ormas Islam berhaluan kebangsaan untuk menghadang metamorfosis ormas radikal-intoleran, terutama FPI. Dengan basis massa yang besar dan kuat, ditambah jejaring sosial-politik yang dimilikinya, Muhammadiyah dan NU diharapkan mampu membentengi umat agar tidak mudah terbujuk oleh hasutan ormas-ormas berkarakter intoleran-radikal. Jaringan pendidikan formal mulai tingkat usia dini hingga perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah idealnya bisa menjadi kanal-kanal untuk mengembangkan pendidikan agama yang bercorak moderat-toleran.

Sedangkan jaringan pesantren yang dimiliki NU kiranya bisa menjadi ruang untuk menggali khazanah pemikiran Islam klasik yang kaya akan tradisi toleransi dan menghargai perbedaan. Meneguhkan Muhammadiyah dan NU sebagai dua ormas pemersatu bangsa ialah hal mutlak yang tidak bisa ditawar untuk membendung manuver kamuflatif FPI dan ormas sejenis. Muhammadiyah dan NU dengan keunggulannya masing-masing harus bersinergi membentengi umat dan bangsa dari manuver ormas pemecah belah NKRI.

This post was last modified on 6 Januari 2021 7:26 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

20 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

20 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

20 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago