Faktual

Minoritas Menjadi Pemimpin : Ketidaklakuan Politik Identitas dan Kedewasaan Politik

Pilkada 2024 telah berjalan dengan lancar dan damai. Sebuah pencapaian bersejarah bagi bangsa ini, untuk pertama kali dalam sejarah dilaksanakan kontestasi politik lokal secara serentak. Secara keseluruhan berjalan dengan lancar. Kegirangan kelompok pemenang, penerimaan kekalahan dan upaya mencari keadilan dengan indikasi kecurangan merupakan rangkaian hasil yang menghiasi perjalanan demokrasi yang mulai dewasa.

 

Ada hal yang cukup menarik perhatian. Keunggulangan sementara Sherly Tjoanda dalam pemilihan gubernur Maluku Utara menjadi pembelajaran yang berharga. Bukan dalam rangka mensyukuri kemenangannya, tetapi lebih pada mengapresiasi kematangan demokrasi yang mulai tumbuh di tengah masyarakat.

 

Sherly yang maju menggantikan suaminy, Benny Laos setelah mengalami kejadian tragis dan menyedihkan, berhasil mengalahkan lawan politiknya. Sebagai minoritas dengan triple minority, yakni perempuan, Kristen Protestan dan keturunan Tionghoa, ia berhasil merebut hati pemilihnya sebagai pasangan yang unggul sementara dalam proses quick count.

 

Maluku Utara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, ternyata mampu menerima keberadaan calon pemimpin dengan latar belakang yang berbeda agama dan suku. Bahkan penerimaan perempuan sebagai calon pemimpin dengan stok laki-laki yang masih melimpah bukan lagi menjadi persoalan utama.

 

Di sini kita melihat, dalam beberapa kasus di tengah masyarakat, politik identitas dengan menjual agama dan kesukuan, nampaknya tidak menjadi mantra mujarab untuk menaklukkan pemilih. Tentu ini patut disyukuri, sekali lagi bukan karena bagian dari timses, sebagai kemenangan toleransi yang mengalahkan politisasi identitas.

 

Dengan penduduk muslim sekitar 74 persen, Maluku Utara menegaskan sebagai tempat dan wilayah yang aman dan damai dalam menyikapi perbedaan. Masyarakat tidak mau diadu domba dengan perbedaan agama yang kerap dipolitisasi sebagai komoditas politik. Kedewasaan masyarakat dalam melihat kemampuan dan kecakapan melebihi latar belakang perbedaan primordial merupakan salah satu  syarat demokrasi yang sehat.

 

Kenapa itu penting? Proses demokrasi yang sehat akan melahirkan pemerintahan yang kuat. Penyelenggaraan kontestasi politik yang terbuka dan bebas dari politik identitas akan meliharikan pemerintahan dengan kebijakan yang inklusif yang tidak berorientasi politik kepentingan kelompok.

 

Dengan demikian, politik yang toleran akan membuka ruang keterbukaan dalam aspek kebijakan ke depan. Sebaliknya, kemenangan politik yang diwarnai dengan politik identitas rawan disalahgunakan hanya untuk menyenangkan kepentingan kelompok semata dalam proses pengambilan kebijakan.

 

Bukan sekedar momen keterwakilan perempuan dalam dunia politik, karena di beberapa daerah sudah banyak perempuan yang menjadi pemimpin. Namun, hal terpenting adalah penerimaan masyarakat terhadap calon pemimpin yang berbeda latar belakang menjadi poin utama.

 

Masyarakat dan bangs aini telah menjalani ujian berat dalam menangani virus politik identitas. Dalam beberapa pilkada sebelumnya, kerap politik identitas menjadi senjata untuk meraup kemenangan. Agama, pada khususnya, kerap dipolitisasi sebagai modal utama dari pada kemampuan.

 

Kemenangan Sherly sebenarnya bukan kemenangan minoritas. Istilah minoritas-mayoritas seharusnya dibuang dalam kamus kewarganegaraan yang berbasis kebangsaan. Dalam konteks negara-bangsa, semua warga negara memiliki status yang sama yang tidak mengenal mayoritas-minoritas. Istilah ini jika semakin dikembangkan hanya akan memperkuat pembelahan dan segregasi.

 

Semoga ke depan, kontestasi politik di Indonesia semakin sehat. Kalah dan menang adalah keniscayaan. Merasa dicurangi ketika kalah adalah bagian dari eskpresi kekecewaan yang sangat wajar. Mekanisme penyaluran kekecewaan politik secara konstitusional sudah disediakan melalui Mahkamah Konstitusi. Namun, terpenting kita harus menghargai proses politik yang ada, tanpa terus meratapi kekalahan dengan isu yang tidak produktif.

Hana

Recent Posts

Majelis Nurul Legend; Metode Dakwah Santri Berbasis Game Online

Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…

10 jam ago

Menolak Senjakala Pesantren

Ada sebuah diktum yang meresahkan bagi kaum santri saat ini, yaitu bahwa untuk menjadi modern,…

10 jam ago

Ronggawarsita: Daya Jelajah Seorang Santri

Di Tegalsari, Ponorogo, terdapat sebuah pesantren yang, dalam catatan Bruinessen (1995), merupakan pesantren tertua dalam…

10 jam ago

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

1 hari ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

1 hari ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

1 hari ago