Narasi

Mitigasi Bahaya (Narasi) Konservatisme Agama di Media Sosial

Akhir-akhir ini, konservatisme agama kian menguat di media sosial. Dalam konteks ini, jika kita ikuti perkembangan yang ada, konservatisme agama menguat karena dipantik oleh komentar Nikita Mirzani yang menyatakan bahwa Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai penjual obat. Maka, kalangan jemaah dari HRS pun menilai pernyataan Nikita Mirzani tersebut menghina HRS atau lebih tepatnya, ia telah melakukan pelanggaran ujaran kebencian terhadap HRS dan penodaan agama Islam. Sehingga, dengung konservatif di media sosial pun tak dapat dihindari.

Yang menjadi pertanyaan, apa itu konservatisme agama? Kemudian, apa dampaknya bagi kehidupan beragama di Indonesia? Serta, bagaimana memitigasi konservatisme agama yang terus menjamur di media sosial?

Sebelum melangkah lebih jauh, untuk memperjelas perlu diberikan pengertian tentang makna konservatisme agama.  Dalam wacana akademik, dengan meminjam bahasanya Azyumardi Azra (2020), konservatisme agama sering disebut ‘religious conservatism’ atau ‘religious conservativism’ yang berarti pemahaman dan praktik agama konservatif, yaitu berpegang secara ketat pada kitab suci atau pada ajaran, ortodoksi, ortodoksi dan tradisi yang dianggap sebagai paling benar.

Berangkat dari istilah tersebut, konservatisme agama menolak pemahaman, penafsiran, dan pembaruan pemikiran dan praktik agama berdasarkan perkembangan modern tertentu. Konservatisme agama misalnya menolak gejala moderen seperti keluarga berencana, sebaliknya menganjurkan banyak anak; atau menolak imunisasi anak; menganjurkan pemisahan laki-laki dan perempuan bahkan di antara suami-istri dalam resepsi perkawinan.

Kini, konservatisme agama tersebut telah berkamuflase — sebagaimana yang kerap kita jumpai — yakni, kriminalisasi ulama dan akhirnya dikaitkan pula dengan pelanggaran penodaan agama. Jika narasi ini kian banyak berseliweran di sosial media, imaji untuk melakukannya pun lama-lama dianggap biasa. Itulah proses normalisasi kebencian dan kekerasan.

Dengan kata lain, apabila kebangkitan ‘konservatisme agama’ di negeri ini dibiarkan begitu saja, maka jangan heran apabila narasi Indonesia yang bersatu, rukun, damai dan harmonis dalam keragaman keagamaan, mungkin hanya tinggal kenangan dalam beberapa waktu ke depan. Inilah dampak dari konservatisme agama itu sendiri.

Jama diketahui, konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang masih kerap terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa yang plural. Namun demikian, kita harus tetap waspada. Salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai

sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Inilah wajah lain dari konservatisme agama.

Maka, adalah benar pandangan Lukman Hakim Saifuddin selaku mantan Menteri Agama RI (2019), karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan, bagi pemeluknya, agama dianggap sebagai “benda” suci yang sakral. Alih-alih menuntun pada kehidupan yang tentram dan menentramkan, fanatisme ekstrim terhadap kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka.

Untuk menghadapi kecendrungan seperti itu atau lebih tepatnya, memitigasi konservatisme agama, kita membutuhkan pemahaman agama yang lebih komprehensif, yang meliputi syariat, tarikat, dan hakikat. Secara demikian, orang beragama diharapkan akan memiliki keluasan pandangan dengan menjadi lebih moderat, toleran, dan berorientasi pada penyempurnaan akhlak. Bukan beragama dengan cara memusuhi, mengafirkan, dan menyesatkan orang lain.

Oleh karenanya, dibutuhkan para kaum atau kalangan moderat untuk ramaikan media sosial. Sebab, moderasi beragama merupakan suatu keniscayaan bagi masyarakat yang plural.

Menurut Muhammad Adlin Silla selaku Kapuslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan (2020), ada beberapa tahapan strategis dalam penerapan moderasi beragama di dunia virtual. Pertama, dengan memulai membiasakan menulis konten-konten positif dengan iringan sifat etis yang menyertainya yaitu khusnudzan dan terbuka. Kedua, pemilihan materi yang disampaikan agar memiliki pesan kuat yang mempromosikan toleransi dan menolak tindakan ekstrim. Ketiga, menyajikan fakta-fakta atau argumentasi yang membantah pesan-pesan negatif kelompok ekstrim atau intoleran. Keempat, menggunakan narasi reflektif seperti kisah harmoni pertemanan dengan ragam latar belakang perbedaan.

Dengan demikian, konservatisme agama di media sosial yang kemunculannya turut memperburuk kelangsungan kehidupan yang plural pada akhirnya dapat dicegah. Semoga.

This post was last modified on 20 November 2020 1:38 PM

Saiful Bari

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

24 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

24 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

24 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

24 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago