Narasi

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan ibadah, kekerasan terhadap tempat ibadah, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Data ini menunjukkan sesungguhnya masyarakat yang toleran, negeri yang penuh nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong menjadi semacam mitos. Narasi ini diciptakan untuk mengatakan negeri ini baik-baik saja.

Kata kerukunan seolah menjadi mitos atau khayalan yang mendasari masyarakat untuk percaya negeri ini adalah secara khittah adalah berisi masyarakat toleran. Rukun tetangga, rukun warga, rukun masyarakat dan sebagainya. Namun, dalam prakteknya, tidak sedikit ditemukan kasus-kasus ketidakdewasaan umat dalam menghadapi keragaman.

Ketika kita menilik persoalannya, tentu persoalan intoleransi bukan semata disederhanakan semata persoalan kesenjangan sosial-ekonomi, kecemburuan, kontestasi politik dan semacamnya. Tentu semuanya menjadi faktor pendorong, tetapi akar masalah dari semua itu kerukunan semua atau mitos kerukunan yang lama ditanamkan, tetapi tidak menjadi praktek yang kokoh dalam masyarakat.

Kerukunan selama ini hanya desain atau rekayasa yang tidak tumbuh secara natural dari relung masyarakat. Karenanya ketika kesemuan ini bertemu dengan faktor pendorong yang memicu akan melahirkan ketegangan sosial yang tidak bisa dihindari.

Menjadikan masyarakat sebagai obyek program gerakan kerukunan adalah kesalahan besar. Tentu kita masih berharap negara memainkan peran penting dalam mendesain kerukunan, tetapi kebijakan itu tidak semata melakukan pendekatan teknokratis yang bersifat Top-Down. Pemerintah sejatinya harus berperan dalam merangsang inisiasi publik dalam mempraktekkan kerukunan.

Karena itulah, menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis, diperlukan pendekatan kolaboratif antara masyarakat sipil (bottom-up) dan kebijakan pemerintah (top-down). Kolaborasi ini penting untuk memastikan proyek kerukunan bener-benar membumi dan bukan sekedar rekayasa program dari atas ke bawah.

Pendekatan Top-Down: Kebijakan Pemerintah yang Inklusif

Kebijakan pemerintah penting untuk memberikan stimulus dan membangun lingkungan yang kondusif bagi terciptanya kerukunan. Kebijakan yang responsif dan inklusif sangat diperlukan untuk mendukung upaya masyarakat. Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kerangka regulasi dan kebijakan yang mendorong kesetaraan dan keadilan.

Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang yang melindungi hak-hak kelompok minoritas dan rentan ditegakkan dengan tegas. Regulasi ini akan menjadi dasar bagi relasi sosia di tengah masyarakat. Selain itu penting, penegakan hukum yang konsisten dapat memberikan rasa aman dan keadilan bagi semua warga negara.

Selain itu, program pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan inklusivitas harus menjadi kebijakan yang bisa bagian integral dari kurikulum sekolah. Sosialisasi nilai-nilai ini juga harus dilakukan melalui media dan kampanye publik. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan program Pendidikan Karakter yang mencakup pendidikan tentang toleransi dan keberagaman.

Pendekatan Bottom-Up: Partisipasi Masyarakat Sipil

Partisipasi aktif dari masyarakat sipil adalah kunci dalam mengatasi kesenjangan dan merawat keberagaman. Kelompok masyarakat dapat berperan sebagai penggerak utama dalam mendesain perilaku dan interaksi sosial.

Beberapa hal yang bisa dilakukan misalnya, advokasi dan kesadaran publik. Masyarakat sipil dapat mengadvokasi hak-hak kelompok rentan dan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya toleransi. Kampanye pendidikan dan kesadaran dapat membantu mengubah persepsi dan sikap masyarakat terhadap keberagaman.

Selanjutnya, pemberdayaan komunitas. Inisiatif pemberdayaan komunitas dapat membantu meningkatkan kapasitas dan keberdayaan kelompok-kelompok terpinggirkan. Program-program pelatihan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi dapat membantu mengurangi kesenjangan dan meningkatkan partisipasi sosial.

Tidak kalah pentingnya adalah dialog dan mediasi. Masyarakat sipil dapat memfasilitasi dialog antar kelompok yang berbeda untuk membangun pemahaman dan mengatasi konflik. Mediasi yang efektif dapat membantu menyelesaikan perselisihan dan membangun kembali hubungan yang harmonis.

Untuk mewujudkan kolaborasi bottom-up dan top-down dalam mengikis kesenjangan dan merawat keberagaman bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Karena itulah perlu adanya Langkah yang harus dilakukan seperti membangun forum dialog antara pemuka agama, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk membahas isu-isu keberagaman dan mencari solusi bersama. Forum-forum ini dapat menjadi platform untuk mendiskusikan isu-isu sensitif dan menemukan jalan keluar yang damai.

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

16 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

16 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

16 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

16 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago