Pasca menggelar aksi Reuni 411 beberapa waktu lalu, FPI yang kini berganti nama menjadi Forum Persaudaraan Islam kembali menggelar aksi Reuni 212. Bertempat di Monumen Nasional, sejumlah massa berpakaian serba putih berkumpul entah untuk tujuan apa. Di hari Senin, di awal bulan dan pengunjung tahun. Ketika semua orang sibuk bekerja, bersekolah, menjalani kehidupan, ada sekumpulan orang yang sejak pagi buta berkumpul dalam kegiatan yang bertajuk Reuni 212.
Barangkali, mereka inilah contoh orang-orang regresif alias berpikir ke belalang. Meraka gagal move on dan tidak mau menatap realitas ke depan. Mereka masih terjebak masa lalu, tepatnya ketika FPI tengah menikmati masa jaya, hingga bisa menggelar aksi demo berjilid-jilid dengan jumlah massa yang besar di tahun 2017 lalu.
Tapi, kita tahu FPI tidak sebesar itu. Kejayaan FPI di tahun 2017 itu tidak lebih dari faktor momentum saja. Kebetulan, konstelasi politik di Pilkada DKI 2017 dan politik nasional kala itu memang memberikan celah bagi FPI untuk naik ke pentas politik nasional. Namun, di tahun 2024 ini kondisinya jauh berubah. Konstelasi politik sudah jauh berbeda.
Prabowo dan Jokowi telah melakukan rekonsiliasi. Bahkan, Ahok dan Anis sudah ada satu barisan di Pilkada Jakarta 2024 ini. Tinggal FPI berada di pojok sendirian, mengais-ngais perhatian dengan aksi-aksi demo kecil-kecilan dan ala kadarnya. Bahkan, sang pentolan, Rizieq Shihab pun tak kunjung pulang dari umroh panjang di tanah suci.
Aksi reuni 212 adalah mobokrasi alias pengerahan massa dalam jumlah besar untuk menekan kekuasaan yang sah. Mobokrasi adalah musuh demokrasi modern. Dalam demokrasi modern, aspirasi itu disalurkan bukan melalui parlemen jalanan, melainkan melalui forum resmi. Seperti sidang DPR, atau melalui media konvensional maupun media sosial. Aksi demonstrasi jalanan dengan pengerahan massa rawan menimbulkan kericuhan dan berdampak pada kondisi sosial, ekonomi, dan tentunya politik.
Menjaga Kondusifitas Pasca Pilkada 2024
Apalagi, mobokrasi itu dilakukan di tengah masa pra Pilkada yang masih rawan guncangan sosial. Pilkada baru saja usai. Penghitungan cepat sudah keluar hasilnya. Namun, pengurungan resmi KPU masih menunggu proses. Inilah fase krusial namun juga sekaligus masa-masa kritis. Masa ketika provokasi sekecil apa pun berpotensi menyulut api konflik yang besar.
Dalam konteks ini, aksi reuni 212 adalah tindakan cari perhatian alias caper yang tidak perlu. Tidak ada yang perlu dikenang dari aksi-aksi mobokrasi politik berjubah agama. Pilkada DKI 2017 yang diwarnai politisasi agama paling brutal sepanjang sejarah seharusnya dibuang dari memori kolektif bangsa. Kini, politisasi agama cenderung tidak laku. Indikasinya bisa dilihat di Pilpres dan Pilkada 2024 yang nisbi steril dari politik identitas. Aksi reuni 212 hanya membuka luka lama bangsa yang sebenarnya sudah mulai sembuh.
Gerakan mobokrasi ala FPI dengan aksi reunian-reunian ini jika dibiarkan akan mendelegitimasi demokrasi. Delegitimasi Demokrasi itu terjadi ketika masyarakat lebih suka menyampaikan aspirasi di jalanan ketimbang melalui pikiran-pikiran yang konstruktif.
Delegitimasi demokrasi terjadi ketika iklim intelektualisme yang mengedepankan diskusi dan dialog digeser oleh kultur orasi yang diwarnai cemoohan dan cacian pasa penguasa. Delegitimasi demokrasi itu pada akhirnya akan menurunkan kualitas demokrasi itu sendiri. Demokrasi lantas diartikan sebagai kebebasan tanpa batasan moral dan etika. Demokrasi ditafsirkan ke dalam perilaku yang permisif pada kebencian, permusuhan, dan perpecahan.
Arkian, aksi reuni 212 justru lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Pilpres sudah berlalu. Pilkada juga sudah usai. Apa urgensi melakukan demonstrasi massa? Isu apa yang diangkat? Pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Prabowo tengah tancap gas untuk mengeksekusi program yang dijanjikan selama kampanye.
Program makan siang bergizi gratis tengah dimatangkan, dan siap diluncurkan tahun 2025. Kesejahteraan guru mulai dipikirkan untuk ditingkatkan. Penguatan ekonomi sedang diupayakan penuh melalui beragama skema. Jangan sampai, kerja-kerja itu digembosi oleh gerakan-gerakan mobokrasi. Tidak ada program pemerintah yang bisa berjalan, jika situasi sosial tidak kondusif.
Sebaliknya, pemerintah bisa bekerja maksimal jika keamanan dan ketertiban terjamin. Aksi-aksi mobokrasi tidaknakan mengubah apa pun. Apalagi jika isubyang diangkat cenderung mengada-ada dan tidak subtansial. Masyarakat kian cerdas. Politisasi agama semakin tidak laku. Yang kita butuhkan saat ini adalah kerja nyata untuk Indonesia. Dan itu jelas tidak tampak dari kaum mobokrasi yang gemar sekali melakukan aksi yang mubazir.
This post was last modified on 2 Desember 2024 1:28 PM
Ada statment yang selalu diserukan oleh kelompok radikal. Bahwasanya: “Khilafah itu adalah bukti kegemilangan peradaban…
Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…
Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…
Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…
Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…
Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…