Selama ini, kita selalu menganggap para pelaku bom bunuh, sebagai orang yang tidak berakal. Tentu itu benar dalam konteks justifikasi kategori mereka sebagai korban dari ideologi kekerasan. Mereka mutlak hanyalah korban yang sedang “dimanfaatkan” oleh orang-orang yang punya akal. Jelas, orang yang berakal, tidak akan pernah mengaku dirinya penjahat. Sekali-pun dia adalah “dalang” di balik kejahatan-kejahatan yang akan terus disembunyikan.
Statement ini adalah awal untuk memahami sosok Munarman yang sering-kali memiliki “jejak kelabu” terkait terorisme. Kini dia telah ditangkap oleh Densus 88. Tepatnya pada hari Sabtu 24 April 2021 kemarin. Sebagai tindakan tegas terkait dugaan akan keterlibatan dirinya (ikut hadir) dalam acara pembaiatan teroris ISIS.
Mantan Sekretaris Umum FPI ini memiliki kiprah yang sangat besar terhadap bentang perjalanan ormas yang kini dilarang. Dia ibaratkan “otak” secara administratif dari segala aktivitas ormas tersebut. Mungkin ini juga bisa menggeneneralkan pemahaman kita tentang “dalang” di balik sengkarut tindakan anarkis dan pembuat onar selama ormas ini masih eksis hidup di negeri ini.
Tetapi, bila-mana nasib ormas itu telah memenuhi ajal (dibubarkan) dia mulai bersenggama ke dalam wilayah ideal sebagaimana masyarakat umum pada mestinya. Misalnya, ketika dia ditanyakan tentang pelaku bom bunuh diri, dia dengan tegas menjawab. Mungkin dengan “akal sehatnya”. Kata Munarman: “Hanya orang yang tidak masuk akal melakukan bom bunuh diri” ujarnya dalam beberapa wawancara termasuk di acara Matanajwa.
Tetapi dalam kenyataan lain, sebelum ormas FPI dibubarkan, dia sering-kali memberi semacam materi, kultum atau ceramah khusus yang sering-kali mengungkit tentang jihad, sistem pertahanan ala Barat dan hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan motif pertahanan.
Bahkan sebagaimana dia saat ini sedang ditangkap oleh Densus 88 terkait dugaan akan keterlibatan dirinya pada saat pembaiatan teroris ISIS. Ini tentu menjadi janggal sekali jika dia selalu mengatakan bahwa “Hanya diundang, tanpa mengetahui bahwa itu acara pembaiatan”. Jawaban ini dilontarkan kepada Najwa Shihab dalam acara Matanajwa. Ungkapan yang semacam ini memang tidaklah benar-benar logis dalam kaca-mata kita. Karena sangat nihil, jika menghadiri sebuah undangan, tetapi tidak tahu-menahu undangan itu dalam rangka apa.
Tetapi kita harus kembali ke dalam persoalan utama. Bahwa selama ini, memang kita lebih mudah menangkap pelaku terorisme. Tetapi sangatlah sulit untuk menangkap “dalang” di balik perilaku terorisme tersebut sering-kali memanfaatkan “jejak kelabu” untuk menutupi segala tindakannya. Sebagaimana terkait kasus Munarman yang kini telah didalami oleh pihak yang berwajib. Memang, ketika Munarman melakukan semacam pembelaan bahwa dirinya bukanlah teroris, dia selalu mengaitkan “akal sehat”. Baginya, hanya orang tidak punya akal yang melakukan itu. Memang, mereka hanyalah korban dari transmisi ideologi yang dibangun dan dikokohkan menjadi sebuah tindakan yang tidak masuk akal layaknya bom bunuh diri.
Tetapi perlu kita pahami, bahwa mereka adalah korban yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya akal. Sebagaimana akal manusia yang normal, tidak akan sudi mengatakan dirinya itu penjahat. Sekali-pun dia adalah “dalang” di balik kejahatan-kejahatan. Maka, catatan penting, bahwa “dalang” akan selalu mempunyai “jejak kelabu” untuk menghilangkan jejak kejahatan-kejahatan yang telah diproduksi oleh pikirannya.
This post was last modified on 28 April 2021 12:51 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…