Narasi

Nasionalisme Keagamaan Sebagai Filter Radikalisme

Beberapa hari ini, di sosial media dihebohkan dengan potongan video cerah salah satu ustadz yang mengatakan bahwa tidak usah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Dalam cerama ini, ustadz tersebut menjawab pertanyaan dari jamaahnya yang merasa resah saat disuruh menyanyikan lagu kebangsaan setiap pagi.

Pertanyaan dan Jawaban dari ceramah tersebut, merupakan bibit hilangnya rasa nasionalisme dalam diri seseorang. Bila bibit ini tidak dihilangkan dari dalam masyarakat, hal ini akan menjadi gulma yang membahayakan keberlangsungan negera Indonesia. Sebab, runtuhnya suatu negara adalah hilangnya rasa memiliki dan merawat rasa kebangsaan dalam masyarakat dan lebih mementinkan kehidupan pribadi atau kelompoknnya. Rasa ego ini akan mengakibatkan permusuhan yang berujung pada perpecahan dalam masyarakat.

Untuk menjauhkan perpecahan dalam diri masyarakat, diperlukan penguatan rasa kebangsaan dalam diri masyarakat. Upaya ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintahan, tetapi semua orang yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan orang banyak. Seperti halnya ustadz yang notabene seorang ahli agama, harus mengajarkan bagaimana juga mengajarkan nilai-nilai kebangsaan.

***

Agama dan negara seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Duanya saling berkaitan dan saling mengesi. Ketika keduanya dilepaskan, maka duanya tidak akan memiliki arti apa-apa.

Secara bahasa, nasionalisme memang tidak ada dalam kamus bahasa agama, terutama Islam, sebab Islam lahir di daerah yang menggunakan bahasa Arab, sedangkan di Indonesia masyoritas memiliki bahasa nasional berupa Bahasa Indonesia. Tetapi secara spirit, nasionalisme di bahasa dalam agama Islam. Dalam kosakata Arab, istilah yang memiliki makna bangsa antara lain qaum dan sya’b. Kata qaum di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 322 kali, sebagaimana di dalam Q.S. Hud [11]: 63-84.

Sedangkan kata sya’b hanya ditemukan dalam satu ayat sebagaimana pada Q.S. al-Hujurat [49]: 13: Ideologi kebangsaan atau nasionalisme jelas memiliki dasar dalam Al-Qur’an dengan adanya inklusivitas untuk saling mengenal identitas satu dengan yang lain. Tentu kebangsaan tersebut akan dijumpai adanya kebhinekaan dalam hal agama, suku, warna kulit, status sosial, dan perbedaan lain dengan dibatasi penghargaan melalui ketaqwaan, yaitu memanusiakan manusia dengan tidak saling melecehkan.

Titik temu antara kebangsaan dengan keislaman dapat dilihat pada prinsip yang harus dijunjung. Berbangsa menuntut adanya persatuan masyarakat (al-ummah), perlindungan hak masyarakat (al-adalah), prinsip permusyawaratan (al-syura), dan persamaan perlakuan (al-musawah).

Untuk memudahkan masyarakat Indonesia, intisari dalam kandungan kitab suci Al-Quran kemudian dirangkum dalam Pancasila. Pancasila adalah prinsip beragama Islam. Dalam epistemologi hukum Islam (ushul fiqih), Pancasila sama halnya dengan al-kulliyat al-khams, yaitu prinsip dasar tujuan pemberlakuan hukum Islam. Panca prinsip hukum Islam tersebut adalah perlindungan agama (hifzh din), perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan keturunan (hifzh al-nasl), perlindungan akal (hifzh al-’aql), perlindungan harta (hifzh al-mal).

Al-kulliyat al-khams dalam konteks Indonesia sudah tercermin pada rumusan Pancasila. Sila-sila dasar negara yang merupakan asli produk budaya bangsa Indonesia, sudah memberikan perlindungan agama pada sila pertama. Perlindungan jiwa dan aspek-aspek kemanusiaan pada sila kedua. Perlindungan keturunan sebagai bentuk hak kewarganegaraan dalam sila ketiga. Perlindungan akal dan kebebasan berserikat berkumpul dalam sila keempat. Sedangkan perlindungan harta serta akses sumber ekonomi tercermin dalam sila kelima.

***

Melihat fenoma yang ada saat ini, seharusnya seorang ustadz yang notabene seorang ahli agama harus memberikan jawaban yang memperkuat rasa nasionalime kepada jamaahnya. Mencintai negara tidak akan melunturkan keimanan seseorang, tetapi merupakan salah satu cara menjalankan perintah agama. Seperti penulis sebutkan diawal, bahwa agama dan negara adalah dua entitas yang saling berkelindang satu sama lain, saling keterkaitan satu sama lain.

Sekali lagi, cinta tanah air dan hubungan kekeluargan, kesukuan, dan kebangsaan tidak bertentangan dengan agama apa pun. Karena itu, bisa saja sejumlah besar orang yang berbeda-beda agama kesemuanya sama dalam mencintai satu tanah air yang sama.

This post was last modified on 3 Juni 2021 11:49 AM

Ngarjito Ardi

Ngarjito Ardi Setyanto adalah Peneliti di LABeL Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago