Narasi

Nataru: Menuju Kedewasaan Diri dalam Beragama dan Berbangsa

Di dalam prinsip iman, kita semua sepakat, bahwa hanya agama yang kita anut yang paling benar. Semua umat agama pasti memiliki klaim keimanan semacam itu.

Akan tetapi, kemutlakan atas pengakuan iman semacam ini ketika tidak didasari oleh kedewasaan dalam beragama, niscaya akan di bawa ke luar permukaan secara reduksionis. Digunakan sebagai peng-hakiman dan pelabelan secara destruktif atas keimanan agama lain.

Maka di sinilah pentingnya menyambut Natal 2023 dan Tahun Baru 2024. Sebagai momentum menyambut kedewasaan diri kita dalam beragama dan sekaligus kedewasaan diri dalam berbangsa. Karena faktor intoleransi dan perpecahan selama ini, banyak dipengaruhi oleh kurangnya kedewasaan seseorang dalam beragama dan berbangsa.

Menuju Kedewasaan dalam Beragama

Dewasa di dalam beragama itu, ketika kita bisa melihat kebenaran agama dan bisa menyadari segala yang kita ucapkan/lakukan akan memiliki konsekuensi baik-buruknya. Begitu juga sebaliknya, ketidakdewasaan dalam beragama yaitu tidak menyadari/tidak mempertimbangkan (sak karepe dewe) hingga tak memiliki rasa tanggung-jawab secara moral-sosial atas apa yang diucapkan/dilakukan.

Seperti momentum Natal 2023 ini. Maka, dewasa di dalam beragama adalah (cahaya kebijaksanaan diri) di dalam memosisikan kebenaran iman kita sendiri dan melihat keimanan umat agama lain. Dalam pengertian, kita menaruh kebenaran iman kita yang mutlak dalam pikiran dan hati. Jangan jadikan “senjata” untuk menumpas iman-iman yang lain dengan sikap memaksakan iman yang egois semacam itu.

Kedewasaan dalam beragama melihat keimanan umat agama lain sebagai sesuatu yang benar bagi orang yang beriman itu. Jadi, ada bentuk independensi keimanan yang kokoh atas diri kita dan melihat orang lain yang beda iman sebagai independensi bagi mereka sendiri. Dari sinilah kedewasaan seseorang dalam beragama akan membunuh sikap ego untuk mengganggu, penuh intolerant dan radikal.

Insting beragama yang dewasa itu sejatinya akan merasa “aneh” ketika melihat sebuah teks suci dalam keyakinannya justru ingin merusak keragaman. Seperti melihat teks perintah memerangi non-muslim misalnya. Kondisi dialog kebatinan semacam ini sebagai satu bentuk cara membangun re-interpretasi teks-teks keagamaan perihal ayat perang ke dalam korelasi yang lebih menjaga keragaman. Misalnya, akan melihat konteks situasi ayat itu diturunkan dan direlevankan ke dalam nilai etis kehidupan yang akan dijalani.

Paradigma semacam ini akan tumbuh dalam jati diri seseorang ketika bisa dewasa di dalam beragama. Dia tidak akan melihat teks-teks keagamaan ke dalam kesengajaan untuk tidak menemukan fakta subtansial. Tetapi, menjadikan “alat” agar sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang dipenuhi hasrat diri dalam beragama, seperti akan kekuasaan dan hasrat kebencian itu.

Menuju Kedewasaan dalam Berbangsa

Dalam kehidupan berbangsa, dewasa itu menjadi sangat penting. Artinya, kita bisa menyadari atas (realitas kebangsaan) kita yang dipenuhi keragaman. Serta, realitas sejarah yang melatarbelakangi perjuangan kebangsaan yang diperjuangkan oleh berbagai latar-belakang identitas yang berbeda.

Kedewasaan di dalam berbangsa adalah menyadari segala kebijakan, prinsip ideologis dan komitmen persatuan/kebhinekaan. Itu semua sebagai nilai yang bermanfaat bagi diri dan tempat tanah airnya sendiri. Dewasa di dalam berbangsa ketika melihat sebuah kecamuk konflik dan pertumpahan darah sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dan bahkan buruk.

Rasa syukur atas bangsa ini dengan sebuah kedewasaan diri dalam berbangsa harus terbangun dengan baik. Seperti dalam menyambut tahun baru 2024, di antara kita harus memiliki kesadaran untuk berpikir, apa yang kita berbuat selama ini dan membawa kontribusi aktif?

Kita cenderung melupakan kesadaran reflektif semacam itu karena pola-pikir kita dalam berbangsa masih “kekanak-kanakan”. Perubahan tahun haruslah menjadi sarana untuk sadar diri. Bahwa jika kita masih belum berbuat banyak yang berperan penting bagi terjaganya bangsa ini. Maka, hal yang paling fundamental, kita cukup menjaganya dengan baik dan jangan berpecah-belah.            

Dewasa di dalam beragama dan dewasa di dalam berbangsa sebagai satu refleksi penting dalam menyambut Natal 2023 dan Tahun Baru 2024. Yaitu menjadi dewasa di dalam menyikapi keragaman dan realitas kebangsaan yang beragam. Dengan berpikir realistis bahwa perpecahan, konflik, intoleransi dan pertumpahan darah merupakan sesuatu yang perlu kita hindari.

This post was last modified on 26 Desember 2023 5:21 PM

Fathur Rohman

Photographer dan Wartawan di Arena UIN-SUKA Yogyakarta

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

16 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

16 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

16 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

16 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago