Narasi

Nyali Santri Masa Kini

Kemerdekaan Bangsa Indonesia, tidak bisa lepas dari peran para santri. Mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam merupakan kewajaran bagi santri Indonesia untuk mengusir para kolonial yang telah menguras kekayaan bumi nusantara. Ditambah lagi, kewajiban ajaran agama Islam yang mewajibkan untuk melawan para penindas.

Dalam catatan sejarah, banyak santri yang telah mengorbankan tenaga dan pikirannya untuk mengusir penjajah dari bumi nusantara. Para santri telah mewakafkan hidupnya demi mempertahankan dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Dengan caranya masing-masing, para santri bergabung dengan elemen bangsa lainnya, menyusun strategi untuk melawan penjajah, serta mengajarkan kesadaran kepada masyarakat tentang arti penting kemerdekaan.

Sejarah perang Pangeran Diponegoro merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Pangeran Diponegoro bersama pasukannya, santri-santri Kiayi Maja, telah berperang melawan kolonial Belanda yang telah menguras kekayaan nusantara. Begitu pun dengan santri-santri di berbagai pesantren lain yang dididik oleh Kiayi Maja, mereka ikut berperang mengusir para penjajah dari bumi nusantara.

Partisipasi para santri untuk mempertahankan kemerdekaan semakin kelihatan sejak tanggal 22 Oktober 1945, 2 bulan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Untuk mencegah tentara kolonial Belanda kembali ke Indonesia, KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama’, mencetuskan fatwa resolusi jihad dengan mengatakan bahwa membela tanah air dari penjajah hukumnya fardu ‘ain atau wajib bagi setiap individu.

Seruan jihad yang dikobarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari itu membakar semangat para santri arek-arek Surabaya. Beberapa hari kemudian, mereka menyerang markas Brigade 49 Mahratta. Pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby bersama dengan 2000 pasukan Inggris tewas dalam pertempuran yang berlangsung 3 hari berturut-turut, tanggal 27, 28, 29 Oktober 1945. Inilah penyebab peristiwa 10 November yang sekarang diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Sebagai bentuk pengingat dan penghargaan peran historis para santri dalam menjaga kemerdekaan, pemerintah Indonesia melalui Kepres No. 22 tahun 2015 menetapkan bahwa tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Harapannya, agar masyarakat Indonesia selalu mengingat dan meneladani semangat jihad para pendahulu.

Untuk meneladani semangat jihad para pendahulu, santri masa kini tidak harus mengangkat senjata. Seruan semangat jihad dengan berperang merupakan hal yang tepat pada awal kemerdekaan karena untuk mempertahankan kemerdekaan dari serbuan penjajah asing. Tetapi untuk saat ini, santri masa kini harus melihat kembali semangat jihad dalam konteks yang luwes.

Merujuk pengertian jihad yang luwes, yakni usaha sungguh-sungguh, maka santri masa kini harus mempunyai nyali untuk selalu mencegah apa saja yang dapat merusak Negara Indonesia. Santri masa kini diharapkan agar menyeimbangkan semangat keislaman sekaligus semangat kebangsaannya. Realisasi kedua semangat tersebut harus memperhatikan kondisi umat dan bangsa sekarang.

Semangat keislaman saat ini, santri masa kini harus berani menghadapi kelompok takfiri, kelompok yang mudah mengkafirkan orang lain. Saat inilah nyali santri diuji, santri masa kini harus berjihad sekuat tenaga dan pikiran untuk memberikan penyadaran kepada kelompok tersebut. Santri masa kini harus menjelaskan bahwa Islam sangat toleran, menghargai perbedaan, serta menjawab berbagai tuduhan sesat tentang Islam.

Begitu pun melawan kelompok-kelompok radikalis-jihadis. Kelompok ini merupakan cikal-bakal tumbuhnya aksi terorisme yang menjadi ancaman keamanan dan stabilitas politik nasional. Kelompok yang bertolak pada pemahaman teks keagamaan secara sempit dan tekstual ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Terlebih kelompok ini sudah gencar menyebarkan paham “sesat” tersebut pada segenap masyarakat Indonesia.

Sementara semangat keindonesiaan, harus bisa direfleksikan oleh setiap santri masa kini dalam memperjuangkan kesejahteraan, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan meningkatkan ilmu pengetahuan/teknologi demi kemajuan bangsa. Santri masa kini, khususnya mahasantri (santri yang mengenyam pendidikan tinggi) harus bisa menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat.

Bersikap tajam ke bawah dan tajam ke atas harus menjadi sikap santri. Selalu mengawal pemerintah dalam kebijakan-kebijakannya, dan membantu masyarakat menyampaikan aspirasi-aspirasinya. Sebab, tidak bisa dipungkiri juga bahwa inilah tugas santri dari awal. Pelengseran rezim orde baru, contohnya. Saat itu, banyak mahasantri yang berperan aktif turun ke jalan menyuarakan keadilan. Wa Allahu A’lam bi al-Shawaab.

This post was last modified on 26 Oktober 2018 2:45 PM

Kodrat Alamsyah

Santri Monash Institute Semarang, Mahasiswa UIN Walisongo

Recent Posts

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

53 menit ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

55 menit ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

56 menit ago

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…

1 jam ago

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

1 hari ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

1 hari ago