Narasi

Pancasila dan Tantangan Indonesia Emas 2045 Menghadapi Ekslusivisme Beragama

Pada Hari Lahir Pancasila, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam memperkuat hubungan antarumat beragama. Salah satu masalah yang cukup menguras pikiran adalah bagaimana mengatasi eksklusivisme beragama yang sering kali menjadi pemicu konflik. Dalam konteks masyarakat yang plural seperti Indonesia, interaksi lintas agama adalah praktik inklusif yang merangkul semua keyakinan, mencerminkan semangat kebersamaan dan toleransi.

Namun, baru-baru ini munculnya fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait penggunaan salam lintas agama yang justru menimbulkan polemik. Fatwa ini dinilai kontraproduktif terhadap upaya membangun kerukunan antarumat beragama. Bagaimana tantangan Pancasila menghadapi fenomena ini?

Diawali dari sila pertama Pancasila yang berbunyi, “Ketuhanan yang Maha Esa,” tidak berdiri sendiri sebagai nilai tunggal. Pancasila merupakan suatu kesatuan yang holistik, di mana setiap sila saling melengkapi dan menguatkan. Dan ditutup dengan sila kelima Pancasila, yang berbunyi, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” menegaskan bahwa prinsip religiusitas harus berkelindan dengan prinsip harmonisasi sosial.

Dengan kata lain, implementasi nilai-nilai religius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus selaras dengan upaya mewujudkan keadilan sosial dan harmoni antarumat beragama. Eksklusivisme yang menjurus pada intoleransi adalah ancaman nyata terhadap nilai-nilai luhur Pancasila dan cita-cita para pendiri bangsa. Eksklusivisme yang mengisolasi satu kelompok dari kelompok lain berdasarkan keyakinan agama, tidak hanya mencederai semangat kebhinekaan tetapi juga mengkhianati nawacita luhur bangsa Indonesia yang menginginkan persatuan dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Kembali kepada pembahasan tentang tatwa MUI mengenai haramnya salam lintas agama perlu dilihat dari berbagai perspektif, termasuk dampaknya terhadap upaya mempromosikan toleransi dan kerukunan. Fatwa ini mencerminkan pandangan sebagian umat Islam yang menginterpretasikan ajaran agama secara tekstual dan literal. Pandangan ini sering kali diwakili oleh kelompok legal eksklusif yang menekankan pentingnya mematuhi teks-teks agama secara ketat tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan perubahan zaman.

Di sisi lain, terdapat pendekatan yang lebih esensial dan kontekstual dalam beragama yang menekankan nilai-nilai universal seperti keadilan, kedamaian, dan kasih sayang. Pendekatan ini mengajak umat beragama untuk fokus pada esensi ajaran agama yang mengarah pada kebaikan bersama dan relevan dengan tantangan kontemporer. Pendekatan esensial dan kontekstual ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang inklusif dan menghargai keragaman.

Pendekatan esensial dalam beragama mampu menciptakan harmoni dan keadilan sosial yang lebih luas karena fokusnya pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua umat manusia. Pendekatan ini sangat relevan dalam konteks bernegara di Indonesia yang plural, di mana kerukunan dan harmoni sosial adalah fondasi utama untuk menjaga persatuan dan keadilan.

Penting bagi masyarakat Indonesia untuk terus mendorong dialog antaragama dan memperkuat pendidikan agama yang inklusif. Pendidikan agama yang menekankan nilai-nilai universal dan relevan dengan konteks zaman akan membantu generasi muda memahami ajaran agama dengan cara yang lebih fleksibel dan humanis. Kurikulum pendidikan agama harus mencakup diskusi tentang konteks historis teks-teks suci dan relevansinya dengan tantangan modern.

Selain itu, kepemimpinan agama yang progresif sangat diperlukan untuk mengarahkan umat menuju pemahaman agama yang lebih inklusif dan kontekstual. Pemimpin agama harus mampu memberikan interpretasi yang relevan dengan perkembangan zaman dan mendorong umat untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Dengan fokus pada nilai-nilai universal agama dan penyesuaian interpretasi dengan konteks zaman, umat beragama dapat menciptakan harmoni sosial, keadilan, dan kedamaian yang lebih luas.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, dengan nilai-nilai inklusif dan universalnya, dapat menjadi contoh nyata dimana pendekatan esensial dalam beragama menekankan pada substansi ajaran agama yang mendukung kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan sosial, sementara pendekatan kontekstual memungkinkan penafsiran yang relevan. Dengan demikian, kita dapat mendorong umat beragama untuk saling menghargai dan bekerja sama dalam membangun masyarakat yang harmonis dan inklusif, serta memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi negara yang kuat, bersatu, dan berkeadilan menuju Indonesia Emas 2045 yang diidamkan.

Novi N Ainy

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

13 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

13 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

13 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago