Secara entitas nilai, Pancasila sejatinya lahir dari (implementasi) Agama yang (tidak direduksi) oleh kepentingan satu identitas tertentu. Termasuk Islam yang sangat berkontribusi besar sebagai basis nilai di dalamnya. Dia melebur secara kultural. Membentuk (aturan etis) dalam tatanan masyarakat yang majemuk. Mampu menghadirkan semacam (ruh agama) yang basis-nya bukan politik identitas. Melainkan membawa rahmat bagi siapa-pun. Termasuk menghidupkan semangat kebangsaan yang bersatu, tolerant dan saling gotong-royong satu sama lain.
Pemahaman yang semacam ini sebetulnya telah (final) dari eksistensi Pancasila itu sendiri sebagai falsafah dan ideologi bangsa. Jadi, siapa-pun yang membenturkan semangat kebangsaan dengan semangat keagamaan, lalu dianggap sebagai entitas yang berbeda. Maka orang-orang yang semacam ini sebetulnya berusaha untuk mengangkat agama ke permukaan sebagai basis politis untuk menghancurkan nilai etis agama yang memang jelas mendorong manusia untuk bersatu, bersaudara dan bersama membentuk peradaban.
Karena Pancasila fungsinya memang menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang memberi rahmat ke pada seluruh umat atau semua lapisan masyarakat di negeri ini. Memang, Pancasila (dibuat) oleh manusia. Akan tetapi, “racikan nilai” atau rumusan ide di dalamnya sejatinya mengambil nilai-nilai etis atau kebenaran agama itu sendiri yang memang condong akan kepada semangat yang dibangun di negeri ini. Yaitu: Bersatu, saling menghargai dan saling membantu satu sama lain.
Maka, relevan saya kira jika kita merayakan hari Pancasila setiap tahun. Sambil menyanyikan lagu kebangsaan kita. Hal ini sebetulnya jika kita selami, memiliki fungsi emosionalitas yang mendalam perihal bagaimana kita bersikap yang telah diajarkan dalam agama yang terbungkus dalam Pancasila itu sendiri. Serta, refleksinya, bagaimana kita mampu menghargai dan saling membantu satu sama lain. Sebagaimana yang telah diperintahkan dalam agama yang terbungkus dalam Pancasila itu sendiri.
Namun, pemahaman yang semacam ini masih begitu banyak dari golongan atau kelompok tertentu yang memang masih menolak. Atau-pun membenturkan semangat kebangsaan dengan semangat keagamaan. Mereka-mereka ini sebetulnya bukan tidak paham tentang Pancasila atau-pun tidak paham tentang agama itu sendiri. Namun, mereka memang (sengaja) menyerang secara kultural untuk menyingkirkan semangat kebangsaan secara entitas dari “persepsi” bahwa Pancasila bukan lahir dari Agama.
Mereka-mereka ini mencoba menyerang agar publik membentuk persepsi bahwa agama dan nilai kebangsaan merupakan sesuatu yang berbeda. Sehingga, tugas besar kita saat ini betul-betul menjaga dan mempertahankan semangat Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa.
Sebagaimana pemahaman di atas bahwa Pancasila memang murni merupakan implementasi dari nilai-nilai agama yang membawa rahmat. Berarti, membela Pancasila sama saja menyelamatkan nilai-nilai agama yang telah tertuang di dalam Pancasila. Karena hal ini berkaitan dengan masa depan bangsa yang “terancam” berpecah akibat Pancasila lagi tidak diyakini sebagai nilai-nilai agama.
Selain itu, kita juga perlu menanam nilai-nilai Pancasila tidak hanya sekadar terpampang di tembok sekolah, buku-buku nasional atau-pun sebatas lagu-lagu secara formal. Tanpa menjadikan Pancasila sebagai (kultur hidup) kita dalam tatanan masyarakat yang kita jalani saat ini. Karena, jika kita hanya berada dalam ranah “mulut” sebagai orang Pancasilais, tetapi dalam segi pengamalan, Pancasila tidak melebur sebagai kultur atau kebiasaan masyarakat.
Karena kita harus paham, bahwa menjadikan Pancasila sebagai kultur atau kebiasaan hidup dalam tatanan masyarakat yang kita jalani ini, sama saja kita telah mengokohkan kultural agama yang rahmatan. Sebagaimana pemahaman utama bahwa Pancasila itu mutlak sebagai implementasi dari nilai-nilai agama yang membawa rahmat. Maka, jika kita menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup bermasyarakat dan berbangsa. Tentu, kita telah menjalankan apa yang dimaksud dengan pola hidup yang agamis. Karena, Pancasila adalah implementasi dari ruh kultural agama yang memiliki nilai rahmat itu sendiri.
This post was last modified on 1 Juni 2021 1:25 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…