Rangkaian debat capres-cawapres telah berakhir. Masa kampanye pun segera usai. Sebentar lagi, kita memasuki minggu tenang. Fase ketika Pemilu dan Pilpres akan menemui titik klimaksnya, yakni hari pencoblosan yang akan digelar pada 14 Februari mendatang.
Namanya minggu tenang, seharusnya situasi aman dan terkendali. Namun, biasanya yang terjadi justru sebaliknya. Minggu tenang menjadi masa paling panas. Masa kampanye di dunia nyata memang sudah berakhir, namun tidak di dunia maya.
Di sana, kontestasi berebut suara pemilih justru tengah sengit-sengitnya. Masing-masing kelompok kian gencar menarik simpati publik dengan beragam strategi dan narasi. Di masa minggu tenang, dunia maya terutama media sosial dipastikan akan ramai oleh perang opini dan narasi.
Situasi ini rawan dimanfaatkan kelompok radikal ekstrem untuk menebar propaganda anti-Pemilu dan boikot demokrasi yang dibingkai oleh sentimen keagamaan. Gejala itu sebenarnya sudah mulai tampak. Misalnya dengan munculnya narasi usang yang menyebut Pemilu sebagai syirik akbar atau demokrasi sebagai sistem kufur.
Tidak hanya itu, kaum radikal ekstrem juga kerap melabeli demokrasi dan Pemilu dengan beragam istilah dalam Bahasa Arab. Seperti “akhbatsul khobais” alias sekotor-kotornya kotoran, “adzlamul dzul” atau segelap-gelapnya kegelapan, juga “ankarul munkar“, yang bermakna kemungkaran paling munkar. Labelisasi negatif dengan Bahasa Arab itu bertujuan untuk membangun sentimen negatif di kalangan muslim bahasa demokrasi bertentangan dengan Islam.
Sesat Pikir Kaum Radikal Memahami Demokrasi
Kaum radikal ekstrem menolak demokrasi dan Pemilu karena satu alasan. Yaitu “i’thou sulthoti tasyrik al ulya lighoirihi azza wa jalla“. Maksudnya, segala hukum buatan manusia itu syirik, karena yang berhak menentukan hukum hanyalah Allah.
Yang paling berbahaya tentunya adalah potensi serangan terorisme di masa minggu tenang dengan memanfaatkan kelengahan petugas keamanan. Bukan tidak mungkin jaringan teroris berusaha memanfaatkan momentum minggu tenang untuk melancarkan aksi amaliahnya.
Labelisasi, bahkan sikap anti pada Pemilu dan demokrasi itu merupakan hasil dari kerancuan berpikir kaum radikal dalam membedakan antara syariah dan muamalah.
Pemilu adalah mekanisme mencari wakil rakyat dan pemimpin yang akan diberi mandat untuk menyusun dan menjalankan hukum atau undang-undang yang mengatur hubungan antar-manusia (social relationship). Ini artinya, Pemilu adalah urusan yang sifatnya duniawi dan tergolong ke dalam urusan muamalah, bukan syariah.
Dalam perspektif keislaman, Pemilu adalah mekanisme untuk membentuk Ulil Amri atau pemerintahan yang akan menjalankan urusan kenegaraan. Di dalam Islam, keberadaan Ulil Amri ini mutlak (wajib) sehingga memilihnya pun merupakan kewajiban tiap muslim.
Pemilu sebagimana menjadi tradisi lima tahunan bisa dipahami sebagai manifestasi konsep Syura sebagaimana diajarkan Islam. Pemilu bertujuan memilih anggota DPR, MPR, dan DPD yang nantinya akan membuat undang-undang dengan cara bermusyawarah di parlemen. Demokrasi perwakilan ala Indonesia ini kiranya merepresentasikan konsep ahlul aqdi wal ahdi yang dikenal di era kekhalifahan.
Menjelang hari pencoblosan Pemilu dan Pilpres, yang wajib kita gaungkan adalah sikap toleran pada perbedaan. Prestasi demokrasi akan berjalan kondusif jika semua komponen bangsa menjunjung toleransi. Dalam konteks inilah kita membutuhkan apa yang disebut sebagai toleransi politik. Apa itu toleransi politik?
Membudayakan Toleransi Politik di Alam Demokrasi
Menurut Anderson (2012), toleransi politik diartikan sebagai sebuah sikap ketika setiap individu mampu menghormati hak-hak sipil dan politik setiap individu. Gak sipil dan politik ini termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan atau afiliasi politik.
Toleransi politik harus dimiliki, baik oleh elite politik maupun masyarakat umum. Toleransi politik ini penting untuk mencegah nalar mayoritanisme yakni paham yang meyakini bahwa kelompok mayoritas selalu yang paling benar. Di level elite, toleransi politik idealnya mewujud pada sikap atau perilaku politik yang menjunjung tinggi etika dan moralitas.
Para elite harus mencontohkan bagaimana kontestasi berebut kekuasaan tidak perlu dilakukan dengan mengumbar serangan bernuansa kebencian. Sedangkan di level masyarakat umum, kita perlu membudayakan tradisi demokrasi yang menghargai pilihan politik orang lain.
Di satu sisi, kita tidak boleh bersikap fanatik dengan mengklaim pilihan politik kita paling benar. Di sisi lain, kita juga tidak boleh menganggap pilihan orang lain salah dan memaksa mereka punya pilihan yang sama dengan kita.
Toleransi politik idealnya dimulai dari atas ke bawah (top-down). Artinya, para elite harus mencontohkan pada publik bagaimana memposisikan lawan politiknya secara terhormat. Demokrasi bukanlah ajang untuk menyerang lawan politik dengan sentimen kebencian dan pernyataan provokatif. Pesan toleransi politik ini harus terus digaungkan terutama di tengah maraknya narasi destruksi Pemilu yang diorkestrasi oleh kelompok konservatif kanan.
This post was last modified on 7 Februari 2024 1:21 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…