Narasi

Menelaah Visi Hijrah: Dari Persaudaraan Sempit-Fanatik Menuju Persaudaraan Kebangsaan

Setiap tahun baru Islam tiba, umat Muslim diingatkan pada satu peristiwa agung dalam sejarah Islam: hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Namun, yang kerap luput disadari adalah bahwa hijrah bukan sekadar soal perpindahan fisik, tetapi pergeseran paradigma dan pembentukan masyarakat baru yang beradab dan berlandaskan kesetaraan.

Hijrah bukanlah pelarian dari tekanan, melainkan strategi transformasi peradaban. Umat Islam hari ini seharusnya meneladani hijrah bukan dalam bentuk literalnya, tetapi dalam makna kontekstualnya—yakni perubahan pola pikir dari fanatisme sempit menuju inklusivitas, dari eksklusivitas golongan menuju ukhuwah kebangsaan.

Hijrah: Titik Tolak Kesadaran Peradaban

Keputusan para sahabat untuk menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan kalender Islam adalah hasil ijtihad yang luar biasa. Alih-alih menjadikan peristiwa besar lain seperti kelahiran Nabi, turunnya wahyu, atau kemenangan militer sebagai titik mula, para sahabat memilih hijrah—sebuah peristiwa transformatif yang menandai babak baru dalam sejarah Islam.

Hijrah menandai berakhirnya dominasi identitas kesukuan, dan lahirnya masyarakat baru di Madinah yang multikultural dan majemuk. Dalam masyarakat Madinah, Nabi Muhammad SAW memperkenalkan konsep umat (ummah) yang tidak lagi dibatasi oleh ikatan darah, tetapi oleh kesepakatan sosial-politik yang melindungi seluruh warga Madinah tanpa memandang suku dan agama.

Piagam Madinah: Manifesto Politik Multikultural

Piagam Madinah adalah dokumen politik pertama dalam sejarah Islam yang menyatakan kesetaraan hak dan kewajiban semua kelompok, termasuk Yahudi dan kaum pagan yang berada dalam naungan negara Madinah. Di bawah piagam ini, tidak ada dominasi kelompok mayoritas terhadap minoritas. Semua diakui sebagai satu komunitas warga negara: ummatun wahidah.

Inilah buah utama dari hijrah: lahirnya negara yang menjunjung kebhinekaan dan prinsip keadilan. Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Madinah bukan di atas fanatisme keagamaan atau supremasi etnis, melainkan pada semangat kebersamaan sebagai warga dalam satu komunitas politik yang sama.

Dalam konteks kekinian, pesan hijrah sangat relevan untuk Indonesia. Kita hidup dalam masyarakat yang sangat plural, baik dari sisi agama, budaya, maupun pandangan politik. Sayangnya, sebagian umat masih terjebak dalam ukhuwah yang eksklusif, hanya mau bersaudara dengan kelompok yang seiman, satu mazhab, atau satu ideologi.

Padahal, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah adalah tiga bentuk persaudaraan yang diajarkan Islam. Masing-masing tidak boleh dibenturkan, melainkan harus dikembangkan secara seimbang. Hijrah mengajarkan kita bahwa umat Islam harus mampu menjadi pionir dalam membangun persaudaraan yang melintasi batas-batas eksklusivitas identitas.

Jika semangat hijrah hanya diperingati dalam bentuk seremonial, tanpa diiringi dengan hijrah pola pikir, maka kita sedang mengulang kesalahan masa lalu: terjebak dalam fanatisme sempit, bukan dalam kebesaran visi Rasulullah SAW.

Menjaga Warisan Hijrah dalam Negara Bangsa

Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) telah mewarisi semangat yang sejalan dengan Piagam Madinah. Pancasila adalah kontrak sosial kebangsaan kita, yang menjamin kesetaraan hak warga tanpa melihat latar belakang agama dan suku. Dalam Pancasila, termaktub nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan—semuanya adalah nilai-nilai yang juga menjadi dasar masyarakat Madinah.

Menjaga semangat hijrah berarti menjaga Pancasila. Meneladani Rasulullah berarti menolak segala bentuk sektarianisme, ekstremisme, dan eksklusivitas yang memecah belah bangsa. Menjadi Muslim yang baik dalam konteks Indonesia berarti juga menjadi warga negara yang menjunjung keadaban, kerukunan, dan semangat gotong royong.

Hijrah adalah peristiwa yang mengubah wajah sejarah. Ia bukan sekadar perjalanan, tetapi perpindahan dari perpecahan menuju persatuan, dari diskriminasi menuju kesetaraan, dari kebencian menuju cinta tanah air.

Kini, saatnya kita berhijrah dari pola pikir sempit menuju cakrawala ukhuwah kebangsaan. Bukan hanya untuk memperkuat Islam, tetapi untuk membangun Indonesia yang damai, adil, dan bermartabat—sebagaimana Madinah al-Munawwarah, yang bercahaya karena keberagaman dan keadilannya.

Farhah Sholihah

Recent Posts

Membumikan Hubbul Wathan di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan hari kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus bukan hanya sekadar momen untuk mengenang sejarah perjuangan…

2 hari ago

Tafsir Kemerdekaan; Reimajinasi Keindonesiaan di Tengah Arus Transnasionalisasi Destruktif

Kemerdekaan itu lahir dari imajinasi. Ketika sekumpulan manusia terjajah membayangkan kebebasan, lahirlah gerakan revolusi. Ketika…

2 hari ago

Dari Iman Memancar Nasionalisme : Spirit Hubbul Wathan Minal Iman di Tengah Krisis Kebangsaan

Ada istilah indah yang lahir dari rahim perjuangan bangsa dan pesantren nusantara: hubbul wathan minal iman —…

2 hari ago

Merayakan Kemerdekaan, Menghidupkan Memori, Merajut Dialog

Setiap Agustus, lanskap Indonesia berubah. Merah putih berkibar di setiap sudut, dari gang sempit perkotaan…

3 hari ago

Menghadapi Propaganda Trans-Nasional dalam Mewujudkan Indonesia Bersatu

Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan persatuan di tengah globalisasi dan…

3 hari ago

Penjajahan Mental dan Ideologis: Ujian dan Tantangan Kedaulatan dan Persatuan Indonesia

Indonesia, sebagai negara yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah melalui perjalanan panjang penuh tantangan.…

3 hari ago