Dalam beberapa tahun belakangan kita menyaksikan sebuah fenomena baru dalam lanskap keislaman di Indonesia. Yakni kemunculan gerakan pertaubatan massal yang kerap disebut sebagai hijrah.
Makna hijrah dalam konteks ini merujuk pada fenomena peningkatan kesalahan atau ketaatan beragama yang ditunjukkan dengan ekspresi simbolik, seperti mengenakan pakaian muslim, memanjangkan jenggot, serta mengadaptasi gaya hidup yang dicap islami lainnya. Sekilas, dari luar fenomena pertaubatan massal ini tampak menjanjikan, lantaran menggambarkan bagaimana umat Islam kian giat mengamalkan ajaran agamanya.
Namun, jika dilihat secara detil, fenomena hijrah ini justru semakin menjurus pada perilaku beragama yang eksklusif. Dalam artian merasa diri paling benar, lantas melabeli kelompok lain sebagai pelaku bidah, aliran sesat, atau kelompok murtad dan kafir.
Inilah yang dimaksud sebagai fenomena hijrah salafi. Yakni gerakan hijrah yang dimotori oleh golongan yang menamakan dirinya manhaj salaf. Kelompok ini mengklaim diri mereka sebagai penerus golongan salafusshalih, yakni kelompok pemeluk Islam paling awal yang dianggap masjid memegang kemurnian ajaran sesuai Alquran dan hadist. Hijrah salafi yang marak belakangan ini sebenernya secara historis merupakan kelanjutan dari gelombang islamisme di Indonesia yang sudah dimulai sejak tahun 70an.
Gelombang pertama gerakan islamisme di Indonesia dimotori oleh para sarjana keislaman lulusan Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Mereka pulang ke tanah air membawa pemikiran tokoh Ahmad Abdul Wahab yang disebut sebagai aliran Wahabi.
Gelombang kedua terjadi di dekade 1980an ketika sejumlah ormas keislaman transnasional masuk ke Indonesia. Sebut saja antara lain Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Jamaah Islamiyyah, Majelis Mujahidin, dan sebagainya. Kelompok ini menjadikan perguruan tinggi sebagai basis gerakan.
Gelombang ketiga terjadi di satu dekade belakangan, ditandai dengan kemunculan para ustad atau influencer hijrah yang melabeli dirinya sebagai golongan manhaj salaf. Para ustad dan influencer hijrah menjadi sosok idola baru bagi anak muda muslim Indonesia. Pengaruh mereka, terutama di media sosial sangat besar.
Di fase ini, kampanye hijrah massal dilakukan secara lebih terbuka dengan berbagai acara di ruang publik. Sebut saja salah satunya Hijrah Festival. Sasarannya adalah kelompok muslim generasi Z perkotaan yang memang secara fondasi pengetahuan agama lemah.
Gelombang hijrah salafi ini belakangan kian merambah semua kalangan. Mulai dari kalangan selebritis, pengusaha, intelektual, bahkan seniman khususnya musisi. Sejumlah musisi atau penyanyi terkenal, tiba-tiba meninggalkan band atau profesinya dengan alasan hijrah.
Fenomena hijrah salafi ini dicirikan oleh sejumlah karakter. Pertama, mempraktikkan ajaran Islam secara tekstualistik dan literalistik. Alquran dan hadist dimaknai secara harfiah, tanpa mempertimbangkan kontekstualitas dan relevansinya dengan dinamika zaman.
Kedua, cenderung mengadaptasi total budaya kearaban secara simbolik, misalnya dengan mengenakan cadar bagi muslimah, atau mengenalkan celana di atas matakaki bagi laki-laki. Budaya Arab diklaim sebagai budaya paling islami ketimbang budaya bangsa lainnya.
Ketiga, menolak atau anti pada budaya populer modern seperti musik, film, dan sebagainya. Keempat, anti pada kearifan lokal atau budaya asli Nusantara lantaran dianggap bertentangan dengan ajaran Islam dan melabelinya dengan istilah bidah, khurafat, atau tahayul. Kelima, menolak sistem bunga bank lantaran dianggap sebagai riba.
Dalam banyak hal, fenomena hijrah salafi ini banyak menunjukkan sisi problematik. Mulai dari kepentingan komodifikasi agama yang kuat, pendangkalan agama, hingga kecenderungan untuk mendorong umat berperilaku eksklusif dan intoleran dalam beragama.
Golongan yang mengklaim diri telah melakukan hijrah ke manhaj salaf umumnya merasa dirinya telah menjalankan Islam secara Kaffah. Klaim itu ironisnya dijadikan dasar untuk menghakimi cara beragama atau berislam orang lain. Meraka mending kelompok yang tidak menganut manhaj salaf sebagai muslim yang belum sempurna alias belum kaffah.
Hegemoni ekskusivisme beragama itu dibungkus dengan jargon pemurnian alias purifikasi Islam. Mereka mengklaim hijrah salafi adalah gerakan memurnikan Islam dengan kembali ke Alquran dan Sunnah.
Dalam pandangan mereka, praktik Islam saat ini sudah terlalu banyak bercampur dengan pemikiran modern Barat dan juga kebudayaan lokal. Maka, Islam perlu dimurnikan dengan kembali ke ajaran para salafusshalih.
Pemaknaan hijrah ala kaum salafi ini jelas tidak sesuai dengan hakikat hijrah ala Rasulullah. Nabi Muhamad tidak pernah menyuruh umatnya untuk anti modernitas, apalagi anti kebudayaan lokal. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, ia tidak lantas mengklaim diri sebagai manusia paling benar atau paling suci. Ia juga tidak meninggalkan identitas lamanya sebagai orang Mekkah.
Sebaliknya, ia justru membentuk komunitas baru yang merangkul semua kalangan. Bisa dikatakan bahwa sejak hijrah ke Madinah, dakwah Rasulullah justru semakin inklusif. Orientasi dakwah Rasulullah tidak lagi semata-mata mengajak sebanyak-banyaknya orang masuk Islam. Dakwah Rasulullah di Madinah lebih berorientasi menciptakan tatanan sosial yang egaliter dan demokratis.
Model hijrah Rasulullah yang mengarah pada keislaman inklusif itu justru tidak tampak dalam fenomena hijrah salafi. Fenomena hijrah salafi yang kita lihat saat ini justru lebih kental nuansa eksklusifnya. Seolah-olah Islam hanya satu warna saja, sehingga tidak ada ruang untuk perbedaan penafsiran.
Setiap tahun baru Islam tiba, umat Muslim diingatkan pada satu peristiwa agung dalam sejarah Islam: hijrah…
Tahun Baru Islam 1447 Hijriah menjadi momen penting untuk merenungkan kembali makna hijrah dalam kehidupan…
Dalam konteks dunia modern yang serba digital, makna hijrah perlu dimaknai ulang secara lebih relevan.…
Transformasi digital mengubah seluruh lanskap kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam konteks beragama. Bagi umat Islam,…
1445 tahun yang lalu, Nabi Muhammad berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib yang kelak bernama Madinah.…
Eksistensi negara sangat dipengaruhi oleh soliditas dan solidaritas antar warga negara. Jika antar komunitas dalam…