Narasi

Pemimpin Baru Harus Mengayomi Semua Golongan

Dalam hajat besar yang kemarin -Pilkada Serentak tahun 2018 akan diikuti 171 daerah: 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, merupakan momen yang paling konstitusional dalam memilih pemimpin. Hajat besar demokrasi ini merupakan proses memilih kepala daerah (pilkada) 2018 tidak sekadar menghitung jumlah suara terbanyak, tapi lebih dari itu bertujuan memilih pemimpin yang mengemban amanah maupun mandat untuk masing masing daerah. Terlebih pemimpin yang baru dapat mengemban dan mempertahankan kebhinekaan yang ada.

Di era keterbukaan dan arus informasi yang begitu cepat, yang dipegang dan turut jadi perhatian pemimpin yang baru adalah mempertahankan kemajemukan, kedamaian serta kerukunan antar masyarakat. Hoax merajalela, dan menjadi penyakit akut kebanyakan pemimpin di negeri ini. Di tambah lagi dengan pemimpin yang mengubar janji, menjual bau mulut belakang dan bisanya hanya membuat bumbu-bumbu percintaan pada lawan jenis. Semua itu, membuat rakyat geram, tidak percaya bahkan membuang angan tentang pemimpin sekaran.

Pemimpin yang menghargai persaudaraan merupakan pemimpin luar biasa. Seperti Bung karno tidak muncul sendiri secara alamiah melainkan dari perjuangan dalam waktu yang panjang untuk menggugah kesadaran rakyat, supaya menjadi bangsa dari negara yang merdeka. Pidato Indonesia Menggugat masih menjadi bacaan anak bangsa. Pidato yang mengangkat Pancasila akan tetep menjadi naskah sejarah kita. Pak Harto muncul secara tiba-tiba di tengah pusaran ketidak pastian bangsa Indonesia. Pada awal Oktober 1965, Pak Harto berani mengambil alih kendali, yang dipegang sampai Mei 1998.

Bahkan Muhammad yang menjadi panutan seluruh umat muslim di belahan bumi ini, mengajarkan kepada semua manusia –terutama yang diberi amanah untuk menjaga kerukunan. Salah satu cara Muhammad memimpin dengan kasih dan cinta tatkala berhadapan dengan Umar bin Khattab yang terkenal dengan watak keras dan berlawanan dengan dirinya. Melihat hal itu, Muhammad tak lantas membalas dengan watak keras pula, tetapi dengan cara lembut dan penuh kasih sayang. Dengan tindakan ini, kemudian Umar keras menjadi kawan dan taat apa yang diperintahkan oleh Muhammad.

Kita dapat menyimpulkan bahwa kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang selalu menerima manusia seutuhnya: rohnya, perasaannya, kelembutannya, pikirannya secara utuh dan seimbang kemudian diarahkan ke tujuan penciptaannya yang sejati. Sama sekali tidak ada pengabaian ataupun ketidakkeseimbangan mengenai kemanusiaan dalam memimpin suatu kaum.

Rekam jejak keberhasilan Muhammad dalam mendidik umat manusia ini tentu menjadi bukti lain yang mengukuhkan kebenaran layak diteladani. Selain itu, Muhammad harus menjadi teladan semua lini –paling pokok adalah teladan akhlaknya. Tetapi yang paling terpenting bahwa Muhammad memimpin bukan untuk mengadu domba masyarakat. Tetapi Muhammad mempersatukan perbedaan yang di muka bumi. Keberagaman yang dikarunikan oleh Allah tetap dijaga dalam rasa kemanusiaan. Muhammad mempersatukan bukan untuk menyeragamkan keberagaman terus. Tindakan-tindakan semacam ini, kemudian memberikan nuansa menyejukkan, damai dan nyaman mengenai ajaran Islam.

Secara sederhana, pemimpin yang diinginkan masyarakat adalah pemimpin integritas, tegas, berani dan pemimpin yang efektif. Semua itu tidak cukup melihat pemimpin yang ideal, tentu harus ada persyaratan lainnya, seperti rasa adil, cepat mengambil keputusan, dekat dengan rakyat dan memihak kepada rakyat. Kita juga membutuhkan pemimpin yang memahami dengan baik perjalanan kesejahteraan bangsa baik di dalam negeri maupun di dunia internasional.

Juga pemimpin yang memahami dan menghargai keberagaman yang merupakan fitrah bangsa Indonesia. Tindak hanya itu, pemimpin juga menghargai hak asasi manusia, menyadari negara Republik Indonesia belum menjadi negara hukum seutuhnya dan harus berjuang untuk mewujudkan semua itu. Kombinasi pemimpin juga diperlukan, yakni jenis pemimpin berjenis man of action (manusia petindak atau eksekutor) dengan pemimpin yang berjenis man of ideas (manusia pemikir).

Ngarjito Ardi

Ngarjito Ardi Setyanto adalah Peneliti di LABeL Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Recent Posts

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat…

2 bulan ago

Peran yang Tersisihkan : Kontribusi dan Peminggiran Etnis Tionghoa dalam Sejarah

Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan…

2 bulan ago

Yang Diskriminatif adalah yang Jahiliyah

Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…

2 bulan ago

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…

2 bulan ago

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Ideologi : Pilar Mereduksi Ekstremisme Kekerasan

Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…

2 bulan ago