Narasi

Penangkapan Munarman dan Pemberantasan “Soft Terrorism” di Indonesia

Munarman, mantan sektretaris umum FPI (Front Pembela Islam) sekaligus pengacara Rizieq Shihab dicokok Densus 88 di kediamannya atas dugaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindakan terorisme. Tidak bermaksud bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, namun berita ini barangkali menjadi kado indah di bulan Ramadan. Bagaimana tidak? Tokoh Islam radikal yang satu ini terkenal licin alias sulit disentuh oleh hukum. Padahal sepak terjangnya seperti kita tahu cukup mengkhawatirkan.

Ia dikenal frontal jika bicara di muka umum. Ia seolah memang dipasang oleh organisasinya sebagai semacam “anjing penjaga” yang menggonggong dan mengancam menggigit siapa pun yang dirasa mengancam kelompoknya. Kita tentu masih ingat tragedi penyiraman air minum yang dilakukan oleh Munarman terhadap sosiolog Thamrin Amal Tamagola di sebuah stasiun TV swasta beberapa saat lalu. Di persidangan Rizieq Shihab ia juga kerap memaki-maki jaksa maupun hakim.

Terakhir, sosoknya muncul dalam berbagai video anggota FPI yang berbaiat pada organisasi terors global ISIS. Berkali-kali ia mengelak bahwa kehadirannya dalam acara baiat itu tidak disengaja. Namun, kebohongan pun akhirnya terungkap. Aparat keamanan mengendus perannya di balik aksi terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Munarman pun akhirnya dicokok Densus 88. Inilah babak baru pemberantasan terorisme di Indonesia.

Klasifikasi Terorisme

Sebagai sebuah fenomena sosial-keagamaan, terorisme merupakan sesuatu yang kompleks. Aksi-aksi teror di lapangan tidak lahir secara spontan. Di baliknya, ada beragam aktor yang memiliki peran masing-masing dalam merancang serangan, merekrut eksekutor serta menyiapkan senjata atau peralatan. Bahkan, ada aktor-aktor di balik layar yang perannya ialah mengglorifikasi aksi teror sebagai jihad fi sabilillah.

Dalam pandangan Kai Hafedz yang tertuang dalam bukunya Radicalism and Political Reform in the Islamic and Western World, terorisme diklasifikasikan ke dalam dua jenis. Pertama, hard-terrorism yakni terorisme yang mewujud pada aksi penyerangan, bom bunuh diri dan sebagainya yang terjadi di ruang publik. Aksi ini dilakukan oleh eksekutor yang memang sengaja menyerang target tertentu untuk menciptakan ketakutan dan kecemasan publik.

Kedua, soft-terrorism yakni sistem pendukung (supporting system) yang berada di balik layar atas aksi-aksi teror dan kekerasan di ruang publik. bentuk supporting system ini bermacam-macam. Mulai dari penceramah agama yang gemar mengumbar retorika radikalisme dan kekerasan berbasis agama. Keberagamaan yang eksklusif dan intoleran ialah ekosistem bagi tumbuh suburnya radikal-terorisme.

Bentuk supporting system lainnya ialah dukungan berupa pendanaan, perencaaan strategi serta kampanye masif di media sosial dengan maksud mengglorifikasi terorisme agar bernuansa heroik. Dalam banyak hal, soft-terrorism ini sama bahayanya dengan hard terrorism. Peran di balik layar itulah yang turut andil menciptakan aksi teror di dunia nyata. Dalam konteks ini, sosok-sosok seperti Munarman pantas dikategorikan sebagai soft-terrorism.

Perannya dalam aksi teror di Indonesia dapat diidentifikasi dari pernyatan-pernyataannya yang hampir selalu menarasikan teroris sebagai mujahid. Lebih dari itu, ia memiliki jejaring yang kuat dalam kelompok teroris di Indonesia dan menjadi penghubung antarkelompok tersebut. Ia memang bukan eksekutor di lapangan. Namun, ia memiliki peran signifikan dalam aksi-aksi teror di Indonesia.

Memberantas Akar Terorisme  

Penangkapan Munarman ialah langkah maju bagi pemberantasan terorisme di Indonesia. Selama ini kita hanya fokus menindak para hard-terrorist dan cenderung abai pada soft-terrorist yang notabene merupakan orangp di balik layar aksi-aksi teror. Penangkapan ini menandai bahwa aparat keamanan serius memberantas terorisme hingga ke akarnya.

Sosok-sosok seperti Munarman ini banyak sekali di Indonesia. Mereka memang tidak terlibat langsung dalam aksi teror. Entah karena memang pengecut atau bermental oportunis. Peran mereka ialah mempersiapkan para eksekutor teror di lapangan serta merancang dan merencanakan aksi teror. Di muka publik mereka tampil layaknya tokoh yang memperjuangkan umat dengan jargon dan retorika keagamannya.

Penangkapan Munarman oleh Densus 88 ini kiranya bisa menjadi momentum awal pemerintah untuk membongkar dan mengobrak-abrik struktur jaringan terorisme di Indonesia. Sudah bukan rahasia lagi bahwa para simpatisan FPI dan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) banyak bergabung ke organisasi teror seperti JAT (Jamaah Ansharut Tauhid) dan JAD (Jamaah Ansharud Daulah). Para petinggi dua organisasi yang kini dinyatakan terlarang itu pun banyak yang menjadi aktor penting di balik aksi-aksi terorisme di Indonesia. Adalah tugas bersama untuk membongkar jaringan soft terrorism di Indonesia.

This post was last modified on 28 April 2021 12:52 PM

Nurrochman

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

15 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

15 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

15 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

15 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago