Budaya

Pendidikan Damai Bermula Dari Rumah

Selama ini tak jarang kita mengesankan bahwa perdamaian adalah tugas para aktivis, akademisi, dan pendidik. Seakan merekalah grand desain dari wacana elit tersebut. Padahal perdamaian dan kedamaian itu ibarat nafas yang dibutuhkan semua orang, karenanya ia harus diupayakan, diwujudkan, dan diraih oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun.

Bagaimana cara mewujudkannya? Kita bisa memulainya dari rumah. Rumah adalah tempat berlabuh paling lama dalam kehidupan. Bisa dikatakan, ‘dari rumah pulang ke rumah’. Untuk itulah jika selama ini kurikulum pendidikan perdamaian hanya diajarkan melalui workshop, sekolah, dan lembaga formal lainnya, kini sudah saatnya merambah ke tempat yang menjadi basis dari segala aktivitas itu; rumah.

Desain pendidikan perdamaian dalam rumah tak perlu kaku, belajar damai bukan berarti tenang. Ibarat alam, ia seperti air sungai, tenang tapi mengalir. Anggota keluarga tidak perlu menghindari konflik jika dibutuhkan, tetapi lakukan itu dengan sikap rasional dan proaktif, bukan reaktif. Seperti yang dikatakan seorang filsuf dari Yunani, Baruch de Spinoza peace is not the absence of war; it is a virtue, a state of mind, a disposition for a benevolence, confidence, and justice.

Lantas apa yang perlu dilakukan? Dalam keluarga, orangtua adalah pilar yang menopang moral anak-anaknya, terutama di lingkup rumah. Yang perlu disadari oleh orangtua adalah saat ini kekerasan sudah menyusup ke dalam rumah. Kekerasan itu berbentuk informasi yang disiarkan dalam berita-berita di televisi dan media sosial lainnya yang bisa diakses dengan mudah. Informasi tersebut pada akhirnya akan masuk ke alam bawah sadar sehingga membentuk pola pikir dan sikap dalam diri anak. Untuk itu peran aktif orangtua terutama ibu yang memiliki waktu lebih banyak dengan anak sangat dibutuhkan.

Di dalam keluarga, ibu disebut sebagai madrasatul ula.  Dengan kata lain, bermula dari ibu lah anak-anak belajar tentang kehidupan. Seorang anak yang dibentuk dengan karakter-karakter positif dan penuh kasih sayang dari rumah akan berprilaku positif pula di luar rumah. Sekolah-sekolah selanjutnya hanyalah pupuk untuk menyuburkan akar-akar yang sudah ditanamkan oleh orangtua.

Sebaliknya, jika dibentuk dengan perilaku negatif dan kekerasan, maka dipastikan di luar ia akan melakukan hal yang sama. Secanggih apa pun sistem pendidikan yang diperolehnya, akar itu sudah tumbuh sejak kecil—meski setiap orang secara pribadi memiliki kesempatan untuk menjadi baik dengan cara bertransformasi diri–.

Penanaman nilai-nilai luhur kepada anak untuk mewujudkan kedamaian bisa dimulai dengan 3 M:

Pertama, mulai dari diri sendiri. Sebagai individu dari suatu kelompok atau individu dari individu, setiap diri harus mampu membangun kesadaran dan menguatkan nilai luhur di dalam dirinya sebelum melakukan transformasi nilai kepada orang lain. Orangtua yang ingin menanamkan sikap jujur kepada anak-anaknya harus berani berkata jujur pada mereka terlebih dahulu.

Kedua, mulai dari hal yang kecil. Permulaan yang besar dimulai dari hal kecil. Sikap dan perbuatan baik yang dianggap sepele selama ini harus disadari memiliki nilai besar bagi pembentukan karakter. Misalnya, membiasakan anak untuk mengucapkan permintaan maaf, terimakasih, selamat, salam, berdoa ketika akan memulai dan mengakhiri belajar, membuang sampah pada tempatnya, atau tersenyum. Hal itu memiliki nilai-nilai esensial tentang bagaimana menghargai dan menghormati orang lain.

Ketiga, mulai dari sekarang juga. Tak ada batasan waktu dan umur dalam pembentukan karakter. Jika ada yang beranggapan bahwa manusia itu seperti halnya pohon; makin tua makin sulit untuk dibentuk, maka anggapan itu salah, sebab manusia bukan pohon. Manusia adalah makhluk berpikir yang bisa berproses menjadi baik kapan saja. Untuk itulah hal-hal yang berbau kekerasan harus secepatnya dicegah guna menghindari terhambatnya belajar damai.

Jadi, sekolah hanyalah salah satu dari tiga pilar pendidikan selain keluarga dan lingkungannya. Sekolah hanya mengisi 30 persen dari ruang belajar anak. Sekalipun mendapat nilai 10 dari sekolah misalnya, kalau nilai pendidikan dari orang tua dan lingkungan adalah nol, anak hanya mendapat nilai setara 3,3. Dengan demikian, kalau kurikulum pendidikan perdamaian di sekolah hanya sepertiga dari seluruh kurikulum kehidupan, saatnya kita menggagas kurikulum keluarga damai dalam bentuk pengasuhan, pembiasaan, dan keteladanan.

This post was last modified on 3 Juni 2016 1:41 PM

Ira D Aini

Alumni Pesantren Al Amin Prenduan, Sumenep, Madura. Sehari-hari beraktifitas sebagai 'pembantu' umum dan 'petani' ilmu. Merasa seperti kehilangan hidupnya jika tidak menulis. Kini bergabung dengan Pusat Studi Pesantren.

Share
Published by
Ira D Aini

Recent Posts

Membangun Ketahanan Nasional Melalui Moderasi Beragama

Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan fisik atau militer, tetapi juga mencakup stabilitas sosial, harmoni…

3 hari ago

Kembang Sore: Antara Tuhan dan Kehidupan

Dzating manungsa luwih tuwa tinimbang sifating Allah —Ronggawarsita.   Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun,…

3 hari ago

Meletakkan Simbolisme dalam Prinsip Agama Bermaslahat

Semakin ke sini, agama semakin hadir dengan wajah yang sangat visual. Mulai dari gaya busana,…

3 hari ago

Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

Di tengah rumah yang runtuh, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan tangis pengungsian yang belum…

3 hari ago

Merawat Bumi sebagai Keniscayaan, Melawan Ekstremisme sebagai Kewajiban!

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi dua persoalan besar yang sama-sama mendesak: kerusakan lingkungan dan…

4 hari ago

Banjir Hoax dan Kebencian; Bagaimana Kaum Radikal Mengeksploitasi Bencana Untuk Mendelegitimasi Negara?

Banjir di Sumatera dan Aceh sudah mulai menunjukkan surut di sejumlah wilayah. Namun, banjir yang…

4 hari ago