Kebangsaan

Pendidikan Untuk Perlindungan Kemanusiaan

Sebagai salah satu kebutuhan yang sangat mendasar, pendidikan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Konon dengan pendidikan, manusia dapat menjadi sosok manusia yang sesungguhnya; yang hidup dan mampu menghidupi. Namun tidak dapat ditampik pula kenyataan bahwa tidak jarang pendidikan hanya membuat orang menjadi cerdas, mampu berfikir namun hati tetap kikir. Ibarat kata, makin lama sekolah justru makin serakah (bukannya berkah).

Hal utama yang harus dipahami adalah, membuat orang cerdas bukanlah fungsi utama pendidikan. Manusia dilahirkan ke dunia bukan hanya dengan membawa bekal otak, tetapi juga hati dan emosi. Jika hanya fokus pada urusan mencerdaskan (yang merupakan ranah otak), maka pendidikan telah abai untuk pemenuhan terhadap dua aspek yang lain; hati dan emosi. Padahal dua aspek inilah yang memainkan peran penting dalam memanusiakan manusia. Tanpa keduanya, manusia tak akan lebih dari sekedar mayat berjalan (living dead); tanpa tujuan, tanpa kepastian.

Baik otak, hati maupun emosi, kesemunya memiliki perannya masing-masing. Otak berfungsi untuk menampung dan mengembangkan segala informasi terkait dengan keilmuan, sehingga dengan otak manusia bisa menjadi makhluk yang cerdas. Lain lagi dengan emosi, aspek ini meliputi kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya, sehingga dengan kecerdasan emosi manusia dapat menjadi makhluk yang bijak. Dan yang terakhir, terkait dengan hati. Aspek inilah yang mengikat kita untuk selalu ingat asal dan tujuan kita hidup di dunia. yakni, bahwa kita semua berasal dari tuhan dan akan kembali kepada-Nya pula kelak.

Menilik pada konsep Islam, tiap-tiap manusia dipercaya telah melakukan sumpah tauhid kepada Allah sang pencipta sebelum mereka dilahirkan ke dunia. Pada masa itu manusia bersaksi bahwa Allah adalah tuhan mereka, dan mereka akan menyembah Allah kelak ketika mereka dijinkan hidup di dunia. hal ini tertera jelas dalam Alquran;

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (ke-Esaan Tuhan)”. (QS. Al A’raaf, 7 : 172)

Kecerdasan otak dan emosi tentu tidak bisa mengisi ruang yang satu ini, karena kecerdasan pada aspek hati adalah kecerdasan dalam rupa spiritualitas. Ia tidak kasat mata, namun tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dus, tugas pendidikan yang utama adalah menyeimbangkan ketiga aspek di atas, jangan sampai seseorang hanya cerdas dalam satu atau dua aspek saja namun ambruk pada aspek lainnya. Sikap serakah dari orang-orang yang kenyang bangku sekolah, atau masifnya kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan, merupakan bukti bahwa kecerdasan bukan hanya tentang otak dan emosi, tetapi juga hati.

Meski demikian, hanya cerdas dalam aspek hati saja juga tidak cukup. Setiap orang harus memiliki keseimbangan dalam kecerdasan (balance of knowledge), sehingga manusia bukan hanya berwawasan luas, tetapi juga berbudi pekerti yang lugas.

Dalam konteks radikalisme dan terorisme, kemunculan orang-orang dengan paham kekerasan merupakan bukti nyata betapa kecerdasan yang tidak berimbang dapat merubah seseorang menjadi monster yang menyeramkan. Saya tidak mengatakan bahwa para radikalis terorisme itu adalah orang-orang yang tidak berpendidikan –karena faktanya tidak sedikit dari mereka yang berasal dari kalangan terdidik–, hanya saja kecerdasan yang mereka miliki tidak seimbang atau berat sebelah. Sehingga alih-alih menggunakan agama sebagai jalan untuk berbuat kebaikan, para radikalis merusak agama dengan berbagai tindak kejahatan dan kerusakan.

Mengira bahwa pendidikan hanya berfungsi untuk mencedaskan tentu sebuah kesalahan, lebih dari sekedar ngurusin otak, pendidikan berfungsi untuk membentuk dan menguatkan watak. Karena jika hanya otak, binatang pun memilikinya. Pendidikan bukan pula hanya terbatas pada ranah manusia, tetapi juga kemanusiaan, yakni tentang menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia lainnya.

Semoga bermanfaat, wallahu a’lam..

 

This post was last modified on 30 Mei 2016 6:29 PM

Brigjen Pol Drs. H. Herwan Chaidir

Direktur perlindungan BNPT, Lulusan Akabri Kepolisian angkatan 1987, PTIK angkatan 31 Thn 1994-1996, Sespimpol angkatan 40 tahun 2004, Lemhannas RI angkatan 47 tahun 2012.

Recent Posts

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

9 jam ago

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya…

12 jam ago

Belajar dari Tradisi Islam dalam Merawat Nalar Kritis terhadap AI

Tak ada yang dapat menyangkal bahwa kecerdasan buatan, atau AI, telah menjadi salah satu anugerah…

12 jam ago

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

1 hari ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

1 hari ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

2 hari ago