Orang-orang Nusantara di masa lalu sepertinya memang sudah selesai dengan problem ketuhanan. Pancasila, yang konon digali dari rahim kebudayaan Nusantara sendiri, mencantumkan istilah akan paham ketuhanan orang-orang Nusantara itu sebagai sila pertamanya yang tak akrab dalam istilah agama apapun: “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Maka dapat dipertanyakan tentang narasi yang selama ini mengiringi kedatangan agama-agama besar di Nusantara—seperti “Islamisasi,” “Kristenisasi,” dst.—yang seolah-olah orang-orang Nusantara itu adalah orang-orang yang “kurang” dalam beragama, tanpa perlu mempertanyakan apakah ukuran beragama itu.
Namun, ketika paham ketuhanan orang-orang Nusantara di masa lalu itu dijadikan sila I Pancasila, narasi yang seolah-olah merendahkan paham ketuhanan orang-orang Nusantara itu lalu berubah menjadi lebih halus: Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata tak bertentangan dengan paham ketuhanan agama-agama besar yang singgah di Nusantara.
Terkesan, ketika paham ketuhanan orang-orang Nusantara di masa lalu itu dijadikan sila I Pancasila, justru agama-agama besar itu menyesuaikan dengan paham ketuhanan orang-orang Nusantara. Hal ini terlihat dari pengupayaan kesepadanan agama-agama besar dengan paham ketuhanan orang-orang Nusantara seperti “tauhid,” “Adi Buddha,” “Trinitas,” dst., yang kesemuannya dapat digantikan dengan istilah “Tuhan Yang Maha Esa” (di ranah publik) yang sejatinya, dengan merunut sejarah Pancasila, adalah paham ketuhanan orang-orang Nusantara di masa lalu.
Namun, ketika paham ketuhanan orang-orang Nusantara itu tak dikaitkan dengan Pancasila, lalu kenapa terdapat narasi yang seakan-akan merendahkan cara beragama dan berketuhanan orang-orang Nusantara di masa lalu di balik kedatangan dan perkembangan agama-agama besar di Nusantara?
Lain cerita dengan orang-orang Nusantara yang terhimpun dalam apa yang orang kenal sebagai para penghayat kepercayaan, yang jelas-jelas pula telah dijamin oleh konstitusi dengan menyebutnya sebagai “kepercayaan.” Ternyata mereka tak pernah menolak upaya-upaya pengesaan Tuhan ala agama-agama besar bahkan pun dalam artinya yang paling dalam, yang tentu saja belum tentu sikap seperti ini dilakukan oleh agama-agama besar.
Taruhlah Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) yang mengartikan keesaan sebagai “Tunggal Kahanan” yang tentu saja mengacu pada sebuah keadaan—atau lebih tepatnya suasana—dimana konsep tauhid maupun trinitas kemudian bukanlah sebuah perkara. Maka jamaklah dalam banyak aliran penghayat kepercayaan itu sama sekali tak memperkarakan latar-belakang agama dari para pengikutnya. Dan mereka, umumnya, tak pula berniat menggantikan agama.
Inklusifitas semacam itu tentu saja bertolak dari paham ketuhanan yang tak lagi berupa konsep, namun sudah menjadi laku. Ketika paham ketuhanan itu sudah menjadi laku, maka tak ada lagi sikap yang dihasilkan kecuali sikap-sikap yang toleran dan moderat. Keterbukaan pada agama-agama yang ada dalam banyak aliran penghayat kepercayaan adalah bukti kongkrit bahwa toleransi dan moderasi adalah buah praksis dari paham ketuhanan orang-orang Nusantara di masa lalu yang kemudian dijadikan sila I Pancasila.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…