Apa yang kurang dari dakwah Islam Rahmatan Lil’alamin itu? Jawabannya adalah: jejaring! Sekali lagi, jejaring!
Saya masih meyakini –dan saya kira itu adalah fakta, bahwa Islam moderat di Tanah air ini jauh lebih banyak dan lebih diminati ketimbang Islam yang sangar, suka membid’ahkan dan mengafir-sesatkan pihak lain.
Terus kenapa, yang nampak di permukaan seolah-olah yang mendominasi dan yang paling banyak diikuti justru Islam yang sangar dan kasar itu? Sebab, dakwah Islam moderat/washatiyah itu, masih main sendiri-sendiri, belum ada jejaring yang kuat satu sama lain.
Dengan kata lain, penyebaran ideologi transnasional dan aktor Islam garis keras itu sejatinya hanya sedikit. Sedikit tetapi berisik. Sedikit tetapi terorganisir. Sedikit tapi berjejaring. Mereka membangun jejaring dengan mantap, memanfaatkan dengan luar biasa media sosial. Sementara, dakwah Islam washatiyah itu dan para aktornya, rame tapi sunyi. Banyak tapi tak terorganisir. Banyak tapi kurang berjejaring.
Persis di sinilah penting peran duta damai itu. Jejaring itu perlu dibangun agar syiar agama yang penuh perdamaian menyebar di lini kehidupan umat baik itu di dunia nyata, terlebih-lebih di dunia maya.
Kontra Narasi
Yang harus dipahami sejak dini oleh anak muda duta damai itu adalah ideolog radikalisme itu mempunyai jejaring yang kuat. Jejaring media sosial lebih ampuh dalam merekrut calon terorisme ketimbang cara-cara manual-tradisional.
Jika cara yang terakhir ini membutuhkan waktu agak lama, maka dengan bermodal jejaring media sosial –provokasi, hasutan kebencian, framing dan narasi beberapa website provokator –maka hanya dengan 1 tahun, bahkan kurang dari itu, seseorang sudah bisa direkrut untuk jadi teroris.
Tidak ada cari lain agar bisa keluar dari sisi negatif dari media sosial itu kecuali membangun jejaring perdamaian. Memberikan kontra narasi. Menampilkan wajah Islam alternatif yang lebih ramah dan teduh.
Jejaring model ini perlu dirajut oleh segenap anak bangsa. Memang betul, media sosial adalah media tanpa hirarkisitas. Semua netizen setara dan sama-sama punya akses dan kebebasan yang sama. Kedudukan ini berkontribusi dalam mempengaruhi setiap ucapan, tindakan dan prilaku setiap pengguna.
Merajut jejaring perdamaian merupakan kerja nyata yang hanya bisa dilakukan oleh para duta damai sebagai netizen cerdas (smart netizen). Smart netizen yang dimaksud di sini adalah orang yang menjadikan kritisisme dan kemanusiaan sebagai falsafah dalam bersosial media. Kedua kunci ini menjadi landasan dalam bawah sadar setiap netizen yang sadar akan pentingnya menjaga kedamaian, kerukunan, dan harmoni.
Kritisisme adalah sikap selalu melihat celah dan mempertanyakan setiap hal dengan rasio sebagai alat. Kritisisme selalu bersikap skeptis terhadap setiap materi, unggahan, dan konten-konten yang berbau hoax dan ujaran kebencian. Maraknya kedua hal yang berbahaya ini tak lain adalah absennya sikap kritis di tengah-tangah para nerizen di dunia maya.
Jika kritisisme bersifat keluar, artinya selalu berusaha mencari kekurangan dan ketidakkonsistenan dari setiap sesuatu, maka kemanusiaan bersifat ke dalam. Ia selau menganggap bahwa manusia lain sama dengan dirinya: suka kedamaian, harmoni, dan cinta-kasih, begitu juga sebaliknya benci akan ujaran kebencian, hasutan, fitnah, dan hoax yang bisa membahayakan dirinya.
Kemanusiaan mengajarkan, bahwa setiap netizen adalah makhluk Tuhan yang harus dihormati hak-haknya, dilindungi martabatnya, dan dijaga perasaannya. Kemanusiaan yang mengalir di setiap hati para pengguna medsos dengan sendirinya tidak akan rela untuk melukai kawan atau individu di luar dirinya yang sama-sama berjejaring di dunia maya.
Jejaring perdamaian dengan basis kritisisme dan kemanusiaan merupakan modal utama untuk meng-counter jejaring yang selama ini meresahkan masyarakat. Jika para netizen cerdas sama-sama bergotong-royong merajut jejaring harmoni, perdamaian, kerukunan di dunia maya, maka jejaring hoax, ujaran kebencian, dan radikalisme dengan sendiri akan terbenam.
Sebenarnya orang yang berpayung dalam jejaring dis-harmani hanya terdiri dari beberapa gelintir orang, tetapi mereka dengan lihai dan semangat untuk memaksimalkan fungsi medsos sesuai dengan tujuan ideologi mereka.
Hal yang sebaliknya terjadi pada orang-orang yang cinta akan perdamaian. Mereka banyak, tetapi diam hanya menjadi silent reader. Akibatnya media sosial seolah-olah dikuasai oleh kaum radikalis dan pencinta dis-harmoni. Di sini, sudah saatnya bagi setiap netizen untuk kembali bersuara dan membungkam mereka, dan berusaha sekuat tenaga agar jejaring perdamaian itu kembali kokoh.
Berani Speak Up!
Kita butuh anak muda yang berani dengan lantang menyuarakan moderasi, menghargai perbedaan, dan memanusiakan manusia. Jika para penceramah intoleran dan radikal memberikan pemahaman agama yang sempit melalui media sosial. maka hal yang sama juga harus dilakukan oleh duta damai anak muda. Harus berani bersuara.
Media sosial harus dimaksimalkan. Memaksimalkan fungsi positif-konstruktif medsos sebagai wasilah untuk mengampanyekan nilai-nilai moderasi dan toleransi bisa dijalankan dengan menyebarkan konten-konten damai, video, dakwah, tulisan popular, mempromosikan rasa persaudaraan, dan memviralkan hal-hal yang bisa membuat masyarakat guyub dan harmonis.
Media sosial sekalipun bersifat maya, sangat efektif dalam mengampanyekan gagasan. Pertarungan gagasan dan perebutan wacana adalah hal yang wajib dilakukan dengan kaum radikal. Mereka harus dilawan.
Ini adalah jihad akbar dalam konteks sekarang. Melawan setiap upaya yang bisa merongrong kehidupan berbangsa dan bernegara wajib bagi setiap anak bangsa untuk ikut ambil bagian.
Watak asli masyarakat Indonesia adalah moderat dan toleran. Itu sudah dibuktikan dengan sejarah. Baik dalam dasar, falsafah, maupun dalam bentuk Negara. Masyarakat Indonesia tidak ekstrim kanan, mengambil apa saja saja yang datang dari luar, juga tidak ekstrim kiri, menolak apapun, tetapi mederat, yakni bersifat selektif-akomodatif.
Adanya tindakan-tindakan anarkis dan radikal lain –baik itu di kehidupan sehari-hari maupun di dunia maya –hanyalah riak-riak kecil. Riak-riak itu membesar, sebab sebagian besar kita membiarkannya. Maka tindakan nyata, tidak ada jalan lain, kecuali lebih berani melawan dan bersuara.
This post was last modified on 9 Oktober 2023 3:29 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…