Kesalehan publik beda dengan dua kesalehan yang sudah dikenal di masyarakat, yakni kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual ditandai dengan tingkat ketaatan seorang terhadap segala bentuk ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Ada sebagian orang –dengan salah kaprah –menyamakan kesalehan sosial dengan kesalehan publik. Padahal keduanya sangat berbeda. Kesalehan sosial ditandai dengan sikap hidup filantropis, suka membantu orang, mau berempati dengan yang lain.
Sementara, keselehan publik adalah manifetasi dari norma-norma keadaban publik seperti etos kerja, disiplin waktu, tertib sosial, toleransi beragama, ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang- undangan, demokrasi, HAM, nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesederajatan, dan kemanusiaan.
Dalam prakteknya, ada orang saleh secara individual, tetapi tidak saleh secara sosial. Atau sebaliknya, saleh secara sosial, tapi minus saleh indiviudal. Sebab kedua kesalehan ini: individual dan sosial –keduanya bukan sebab-akibat.
Kesalehan publik justru melampaui kedua kesalehan ini. Boleh jadi ada orang saleh secara individual dan/atau sosial, tetapi sama sekali kosong dari kesalehan publik. Dengan kata lain, boleh jadi ada orang yang suka salat, suka membantu orang, tetapi abai terhadap toleransi beragama, menampakkan sikap paling benar, atau minus ketaatan terhadap hukum.
Sebab, kesalehan publik adalah sesuatu yang kompleks. Ia bukan hanya membutuhkan pehaman agama yang bagus, sekaligus juga harus paham soal bagaimana sikap hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Kuadran Kesalehan
Masdar Hilmy (Kompas, 26/6/13) pernah membuat kuadran kesalehan. Kudaran ini bisa dijadikan sebagai rujukan untuk bisa mengevaluasi bentuk kesalehan publik kita bersama. Ini ibarat rumus, apakah kesalehan publik kita semakin maju, atau mundur, atau malah berjalan ditempat.
Varian kuadrannya adalah: (1) kesalehan individual positif, tapi kesalehan publik negatif; (2) kesalehan individual negatif, tapi kesalehan publik positif; (3) kesalehan individual dan kesalehan publik sama-sama positif, dan (4) kesalehan individual dan kesalehan publik sama-sama negatif.
Jika mengamati empat varian ini, sejauh ini –apalagi jika kita mengamati bagaimana prakteknya di dunia maya –kita masih pada varian yang pertama, kesalehan individual positif, tapi kesalehan publik negatif. Belum bisa menanjak menuju varian yang lebih progres, kesalehan individual dan kesalehan publik sama-sama positif.
Ini bisa kita lihat, betapa banyak orang yang dianggap religius, tetapi pada hakikatnya justru abai terhadap kebhinekaan, menganggap hukum negara sebagai hukum manusia yang tak sewajib mematuhi hukum agama yang dianggap sebagai hukum Tuhan.
Ini di tambah lagi dengan banyaknya para tokoh agama, menyuruh orang lain untuk salat, puasa, bersedekah, tetapi saat yang bersamaan, memprovokasi, memfitnah ajaran agama lain, mengganggap kitab suci agama lain palsu, membuat pemeluk agama lain terluka.
Laku Keadaban Publik
Dalam konteks inilah, saleh secara individual dan sosial belum cukup. Kita harus menggalakkan saleh secara publik. Kesalehan yang mau menaati hukum, mau menghargai perbedaan, merawat persaudaraan, meletakkan kemanusian sebagai ukuran bersama.
Jika direnungi secara mendalam, kata kunci laku kesalehan publik itu sejatinya adalah keadaban publik. Keadaban yang dimaksud di sini adalah sikap menempatkan orang/kelompok lain sama dengan diri/kelompoknya.
Atau jika mau memakai bahasa Hadis Nabi, keadaban itu terwujud dengan “tidak beriman seorang di antara kamu, sebelum dia mencitai saudaranya (baca: orang lain) sama seperti dia mencintai dirinya sendiri.”
Sikap ini kemudia termanifestasi dalam kehidupan publik. Yang jika dirumuskan dalam laku ia bisa bersifat aktif sekaligus bisa bersifat passif. Pertama, jika kamu sanggup memberi manfaat kepada orang lain, maka berilah, jika tidak sanggup, setidaknya jangan memudaratkan orang lain.
Kedua, jika sanggup memumuji orang lain, maka pujilah, jika belum sanggup, setidaknya kamu jangan mencacinya. Ketiga, jika sanggup membuat orang lain bergembira, maka gemberikanlah, jika belum bisa, setidaknya jangan membuat mereka sedih.
Ketiga poin ini adalah rumus bagaimana kita hidap dalam level publik, hidup dalam konteks berbangsa dan bernegara. Jika ketiga rumus ini bisa terwujud, maka penghargaan terhadap liyan, ketertiban dunia maya, demikrasi, hak asasi, dan toleransi beragama –yang semuanya adalah manifestasi dari kesalehan publik –bisa terlaksana.
This post was last modified on 24 Maret 2021 4:45 PM
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…
Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…
Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…