Narasi

Pentingnya Pendidikan Karakter Pesantren Mencetak Moderasi Milenial Anti-Radikalisme

Perlu diketahui bahwa milenial merupakan generasi penerus bangsa dalam mewujudkan pembangunan negara. Karenanya, character building bagi milenial adalah sesuatu hal yang sangat penting. Namun, berbicara terkait pembangunan karakter milenial masih menjadi PR besar bangsa ini yang harus terus diupayakan. Mengingat, hasil survei BNPT sebagaimana dilansir kompas.tv (1/5/2021) yang menyebutkan bahwa kaum milenial rentan terpapar radikalisme dan terorisme. Hal itu disampaikan kepala BNPT, Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar, bahwa kaum milenial lebih mudah untuk didoktrin, dan dinilai efektif dalam melakukan aksi teror. Dari hasil identifikasi, baik pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar dan serangan di Mabes Polri, dilakukan generasi milenial. Data BNPT menunjukkan sekitar 80 persen kaum milenial rentan terpapar radikalisme dan terorisme.

Merespon problem tersebut, makanya kehadiran pendidikan karakter moderasi milenial baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat adalah sangat penting. Dalam ajaran Islam, pendidikan karakter yang salah satu derivasinya adalah pendidikan akhlak, banyak diulas tentang pendidikan karakter. Bahkan, dalam hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah dan Anas Ibnu Malik berbunyi, innamabu’itstu li utammima makarimal akhlaq, Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak (karakter). Ini sangat jelas bahwa pendidikan karakter adalah orientasi utama dalam dakwah Rasulullah SAW diutus ke muka bumi ini.

Oleh karenanya, penting untuk memahami seperti apakah konstruksi-konseptual pendidikan karakter yang dijalankan Indonesia dewasa ini. Salah satu persoalannya dari model pendidikan karakter di Indonesia mungkin filosofi, model, muatan, instrumen lebih-lebih implementasinya hingga kini masih jauh antara tungku dengan apinya. Beberapa residu persoalan konseptual-praktikal kebijakan berkaitan dengan pendidikan agama nasional ini tentu memberi peluang bagi tradisi pesantren untuk turut andil berkontribusi dalam pengembangan pendidikan karakter guna mencetak generasi moderasi milenial.

Telah diketahui bahwa pesantren sangat lekat dengan pendidikan akhlak yang memiliki ciri khas berbeda dengan kawasan lainnya. Pesantren memuat filosofi, sejarah, konsep, kontent, intrumen, serta praktikal pendidikan agama, yang kesemuanya bermuara pada Al-Qur’an. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, tentu peranan pesantren sangatlah besar dalam upaya membangun karakter bangsa. Tidak heran, jika eksistensi pesantren tetap bertahan hingga sekarang.

Pendidikan agama, dalam hal ini pendidikan akhlak perspektif pesantren yang bisa dicontoh bisa kita lihat dalam lembaran kitab dasar akhlak yang populer di pesantren, yakni Akhlaq lil-Banin atau lil-Banat, akan disuguhi adab-adab praktis yang demikian banyak. Syaikh Umar bin Ahmad Barja, penulis kitab tersebut membagi akhlak menjadi dua, yaitu akhlak al-hasanah (terpuji) dan akhlak al-sayyi’ah (tercela). Manusia dianjurkan menjauhi akhlaq al-sayyi’ah dan menghiasi diri dengan akhlaq al-hasanah melalui proses pendidikan.

Adapun contoh praktik pendidikan akhlak pesantren, terutama berkaitan dengan upaya mencetak moderasi milenial yaitu paling tidak telah dirumuskan ke dalam 4 (empat) karakter dasar dengan 10 (sepuluh) nilai utama. Pilihan tersebut dalam bahasa filsafat, lebih merupakan optius fundamentalis, yaitu pilihan dasar yang dianggap penting menjawab problem bangsa saat ini.

Empat karakter dasar tersebut yakni ‘itidal (adil), tawasuth (sikap moderat, tengah-tengah, tidak ekstrim), tawazun (seimbang dalam segala hal), dan tasamuh (toleransi). Adapun sepuluh nilai dasar meliputi tauhid, adil, amanah dan jujur, khidmah (pengabdian), zuhud, al-wafa (menepati janji), tawakal, ukhuwah, uswatun hasanah (teladan), dan tawadhu (Mustafied, dkk., 2013). Berbagai nilai-nilai pendidikan karakter tersebut tentunya sangat berguna dalam rangka pengembangan konsep dan praktik pendidikan karakter moderasi milenial anti-radikalisme.

This post was last modified on 7 April 2021 7:07 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Makna Jumat Agung dan Relevansinya dalam Mengakhiri Penjajahan di Palestina

Jumat Agung, yang diperingati oleh umat Kristiani sebagai hari wafatnya Yesus Kristus di kayu salib,…

23 jam ago

Jumat Agung dan Harapan bagi Dunia yang Terluka

Jumat Agung yang jatuh pada 18 April 2025 bukan sekadar penanda dalam kalender liturgi, melainkan…

23 jam ago

Refleksi Jumat Agung : Derita Palestina yang Melahirkan Harapan

Jumat Agung adalah momen hening nan sakral bagi umat Kristiani. Bukan sekadar memperingati wafatnya Yesus…

23 jam ago

Belajar dari Kisah Perjanjian Hudaibiyah dalam Menanggapi Seruan Jihad

Perjanjian Hudaibiyah, sebuah episode penting dalam sejarah Islam, memberikan pelajaran mendalam tentang prioritas maslahat umat…

2 hari ago

Mengkritisi Fatwa Jihad Tidak Berarti Menormalisasi Penjajahan

Seperti sudah diduga sejak awal, fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan International Union of Muslim…

2 hari ago

Menguji Dampak Fatwa Aliansi Militer Negara-Negara Islam dalam Isu Palestina

Konflik yang berkecamuk di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 hingga hari ini telah menjadi…

2 hari ago