“Keadilan tanpa kekuatan adalah kosong. Kekuatan tanpa keadilan hanya melahirkan kekerasan”. Kalimat yang disampaikan oleh kesatria Chio Beadal dalam film “Fighter in The Wind” itu menarik. Bahwa nilai haruslah memiliki kekuatan. Tapi, jika kekuatan tanpa nilai, ia hanya akan cenderung bersikap brutal dan represif.
Fakta inilah yang tercermin dari brutalnya serangan teror di tanah air dan sejumlah negara lainnya. Menjelang hari raya Idul Fitri 1437 H lalu, kita kembali diguncang dengan aksi bom bunuh diri. Itu terjadi di Mapolresta Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Ledakannya tepat terjadi di depan ruang SPKT Mapolresta Surakarta.
Menurut Kapolda Jateng Irjen Condro Kirono, peristiwa itu terjadi pada Selasa, sekitar pukul 07.30 WIB. Ketika itu, para personel di kantor polisi itu sedang dalam persiapan melaksanakan apel pagi. “Tiba-tiba pelaku masuk ke area kantor polisi dan anggota keluar mengejarnya,” ujar Condro (m.liputan6.com, 5/7).
Sebelumnya, juga terjadi aksi teror di sekitar kawasan Sarinah, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada Kamis (14/1) siang. Aksi teror itu menyebabkan 7 orang tewas, yang terdiri dari 5 orang pelaku teror dan 2 orang warga sipil. Aksi teror itu juga menyebabkan 24 orang terluka, yang terdiri dari 5 anggota kepolisian, 15 warga sipil, dan 4 WNA.
Di balik aksi teror di Sarinah itu ada sangkut pautnya dengan aksi teror yang dilakukan ISIS. Ini terjadi karena ISIS berencana mendirikan provinsi di kawasan Asia Tenggara. Sungguh ini sebuah ‘lonceng’ tanda bahaya yang sedemikian keras. Ini berarti ISIS tengah mempertegas strategi barunya yang ingin “keluar kandang”. Upaya ini mereka lakukan melalui jalan teror, kekejaman, tak punya hati, dan tak manusiawi.
Maka itu, mutlak kemudian bagi negara untuk mencegah terjadinya aksi serupa yang dapat memakan korban jiwa, baik itu warganya maupun warga negara lain yang berada di tanah air. Apalagi mengingat, menurut Sidney Jones dan Solahudin dalam “ISIS in Indonesia”, banyak WNI yang pergi ke Suriah dan bergabung dengan ISIS. Jika sekembalinya ke Indonesia tak membuat aksi teror, tentu, tak jadi masalah. Nah, lain halnya jika mereka kembali ke Indonesia dengan misi tertentu dan membuat aksi teror.
Sebab itu, perlu ada hukuman yang dapat membuat jera WNI yang berjuang atas nama ISIS. Selama ini, masalah hukum yang dihadapi negara terhadap mereka begitu pelik. Aparat negara bisa saja menangkap mereka setelah sepulangnya ke tanah air, tetapi para hakim yang mengadili merasa kesulitan menerapkan hukum positif apa yang dapat diterapkan untuk menghukum mereka. KUHP maupun UU Pemberantasan Terorisme juga belum mampu menjangkau fenomena WNI yang bergabung dengan ISIS.
Saat ini negara sedang merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme. Dalam revisi UU ini, sebaiknya tak hanya fokus pada upaya penindakan, tapi juga upaya preventif pencegahan terorisme. Selama ini, UU ini, menurut penilaian Deputi Penindakan dan Kemampuan BNPT Inspektur Jenderal Arief Dharmawan, minim aspek pencegahan (Kompas, 1/8).
Dalam revisiannya, sebaiknya juga diatur WNI yang mengikuti pendidikan, pelatihan, dan ikut melakukan aktifitas terkait terorisme di luar negeri, tetap harus dihukum saat sepulangnya ke Indonesia. Berikutnya, WNI yang terbukti mengumpulkan, menyalurkan dan membagikan dana, baik dari dalam negeri maupun luar negeri selama itu berkaitan dengan terorisme, juga harus dihukum. Sebab, aksi teror juga sangat membutuhkan dana untuk melancarkan misi anti kemanusiaan itu.
Sebenarnya, UU No. 15 Tahun 2003 banyak pihak menilai telah usang dan ternyata tak cukup ampuh untuk menekan berkembangnya terorisme. Dalam UU ini terdapat sejumlah kelemahan. Sebab itu, sependapat bahwa UU ini perlu direvisi dalam waktu singkat agar lebih adaptif terhadap problem kekinian supaya dapat digunakan sebagai payung hukum untuk mencegah dan memberantas terorisme.
Keterlambatan menyiapkan payung hukum bisa jadi akan memperbesar peluang mereka lolos dari jeratan hukum dan bahkan menebarkan teror, seperti yang dilakukan Bahrun Naim. Ia diduga ada di balik aksi teror di Jakarta. Setelah bebas dari vonis 2 tahun 6 bulan pada 2014, ia mengikrarkan diri sebagai pengikut ISIS dan diperintahkan pimpinan ISIS, Abu Bakar Al Baghdadi, untuk melebarkan sayap perjuangan di luar Irak dan Suriah.
Sebagai penutup, menarik kemudian jika kita simak tesis Louise Richardson (2006) dalam “What Terrorists Want: Understanding the Terrorist Threat”. Strategi kontra-terorisme yang efektif, menurutnya, tak hanya terbatas pada pemberantasan teroris, tapi juga pencegahan tindak pidana terorisme. Salah satunya ialah, menurutnya, melalui pembuatan UU Antiterorisme. Wallahu a’lam.
This post was last modified on 5 Agustus 2016 3:20 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…