Narasi

Perbedaan Pilihan Tanda Demokrasi yang Sehat

Dalam sejarahnya, semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika” berasal dari masa ketika Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha. Bahkan di masa itu, keragaman dalam hal kehidupan agama sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam kitab Sutasoma tertulis sebuah baris: “Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” yang berarti: “Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.” Baris tersebut mau mengajarkan bahwa perbedaan antara keyakinan yang satu dengan yang lain itu sebenarnya tidak saling meniadakan. Walaupun kelihatannya berbeda, tapi sesungguhnya tetap sama dalam kebenarannya. Orang-orang yang berbeda dalam pilihan dan keyakinan tidak berarti saling membenci atau mau saling mengalahkan.

Kebijaksanaan yang tersimpan dalam Kitab Sutasoma ini terus relevan dalam kehidupan demokrasi Indonesia hingga hari ini. Oleh karena itu, hal yang menarik untuk dipertimbangkan adalah bagaimana konsep “Bhinneka Tunggal Ika” ini tetap relevan dalam konteks demokrasi Indonesia yang kian kompleks. Meskipun awalnya muncul dari latar belakang agama Hindu dan Buddha dalam sejarahnya, konsep ini memiliki nilai yang dapat diterapkan secara luas dalam masyarakat Indonesia yang multikultural saat ini.

Keragaman sebagai kekayaan

Pertama-tama, kita bisa melihatnya dari sudut pandang toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia, penting untuk memahami bahwa perbedaan pilihan dan keyakinan adalah hal yang alami dan seharusnya tidak menjadi sumber konflik. Mengadopsi sikap toleran terhadap perbedaan akan terus melatih kita untuk dapat menerima perbedaan, hidup berdampingan secara damai, dan bahkan memanfaatkan perbedaan itu sebagai kekuatan.

Toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan bukan hanya sekadar sikap pasif, tetapi juga merupakan landasan yang kokoh bagi pembangunan masyarakat yang inklusif dan harmonis. Ketika kita memahami bahwa perbedaan sebagai bagian dari sejarah Indonesia, kita dapat melihat keberagaman dan perbedaan justru sebagai kekayaan yang memperkaya budaya dan perspektif kita. Ini memungkinkan kita untuk merangkul keragaman sebagai kekuatan yang memperkuat, bukan sebagai alasan untuk konflik atau diskriminasi.

Oleh karena itu mengadopsi sikap toleran juga membutuhkan keterbukaan untuk belajar dari orang lain dan menggali pemahaman yang lebih dalam tentang perspektif yang berbeda. Ini melibatkan berbagai bentuk dialog antarbudaya dan interaksi antaragama yang memperkuat ikatan sosial dan membangun jembatan antar komunitas. Dengan demikian, kita tidak hanya hidup berdampingan secara damai, tetapi juga saling memperkaya sebagai manusia yang saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.

Sikap toleran ini juga penting dalam menghadapi tantangan-tantangan global seperti perubahan iklim, migrasi, dan konflik antarbangsa. Dalam konteks ini, kerjasama lintas budaya dan lintas agama menjadi kunci untuk mencapai solusi yang berkelanjutan dan adil. Dengan menginternalisasi nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, kita dapat membangun fondasi yang kuat untuk menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan dan damai bagi generasi mendatang.

Kebhinekaan Pilihan Tanda Demokrasi Sehat

Selanjutnya, dalam konteks pemilu Indonesia, konsep “Bhinneka Tunggal Ika” memiliki relevansi yang besar. Pemilu adalah momen penting di mana warga negara Indonesia dari berbagai latar belakang, keyakinan, dan budaya bersatu untuk menentukan arah masa depan negara mereka. Meskipun perbedaan politik dan pandangan ideologis seringkali muncul selama kampanye dan pemilihan, penting untuk diingat bahwa kita tetap satu sebagai bangsa Indonesia. Justru penyeragaman dan tidak adanya perbedaan pendapat adalah tanda demokrasi yang tidak sehat.

Konsep kesatuan dalam keberagaman mengajarkan kita untuk melihat keindahan di balik perbedaan pendapat dan keyakinan dalam proses politik kita. Meskipun kita mungkin memiliki preferensi yang berbeda terkait partai politik atau kandidat yang didukung, kita semua memiliki tujuan yang sama: membangun Indonesia yang lebih baik untuk kita bersama.

Dalam praktiknya, menciptakan masyarakat yang inklusif dan harmonis dalam konteks pemilu memerlukan kesadaran dan komitmen dari semua pihak terkait, termasuk partai politik, calon pemimpin, dan masyarakat umum. Pendidikan politik yang mempromosikan pemahaman antarbudaya dan kolaborasi antaragama sangat penting untuk memperkuat penghargaan terhadap perbedaan. Hal ini akan membantu mengurangi polarisasi politik dan membangun kesepahaman yang lebih dalam antara berbagai kelompok masyarakat.

Dalam hal ini, konsep “Bhinneka Tunggal Ika” juga menantang pandangan mayoritarianisme yang mungkin muncul dalam politik. Ini mengingatkan kita bahwa kebebasan dan hak-hak individu harus dihormati, bahkan jika pandangan atau keyakinan mereka berbeda dengan mayoritas. Pemilu yang inklusif adalah yang memberikan suara kepada semua warga negara tanpa memandang latar belakang atau keyakinan mereka.

Dengan mempertahankan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam konteks pemilu, kita dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif, toleran, dan damai. Ini bukan hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga merupakan contoh bagi dunia tentang bagaimana masyarakat yang beragam dapat hidup bersama secara harmonis, terutama dalam proses politik yang penuh tantangan.

This post was last modified on 9 Februari 2024 3:23 PM

Rezza Prasetyo Setiawan

Mahasiswa Center for Religious and Cross-cultural Studies, Universitas Gadjah Mada

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

5 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

5 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

5 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

1 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

1 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

1 hari ago