Keagamaan

Perdebatan Ulama Fikih tentang Ucapan Selamat Imlek

Tahun Baru China atau Imlek memang milik orang Tionghoa. Imlek atau Lunar New Year adalah suatu momentum yang ditunggu kedatangannya oleh seluruh umat Tionghoa di dunia. Namun kebahagiaannya dirasakan bersama seluruh rakyat Indonesia. Bahkan sebagian ikut merayakannya, atau setidaknya ikut menikmati hari liburnya dan nuansa kegembiraannya.

Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia dengan keragaman budaya, adat istiadat adalah suatu keniscayaan. Demikian juga Chinese New Year atau Imlek telah menjadi kekayaan budaya masyarakat Indonesia. Sebagai negara bangsa segala keragaman tersebut merupakan potensi sosial dan kultural yang bisa menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar. Sebaliknya, Indonesia dengan kemajemukannya bisa hancur berantakan, jika berbagai elemen sosial dengan identitas yang beragam tidak dikelola secara baik.

Salah satu yang dapat menyatukan kemajemukan masyarakat adalah menghormati segala bentuk perbedaan, termasuk menghormati ritual keagamaan dan setiap momentum etnis lain. Termasuk dalam rangka menghormati perbedaan tersebut berupa ucapan selamat hari raya dan tahun baru yang diperingati pihak lain. Seperti selamat Tahun Baru Imlek. Sebagai upaya merekatkan hubungan sosial dan silaturahmi kebangsaan untuk memperkuat persatuan.

Namun di internal umat Islam, hal semacam itu masih menjadi perdebatan status hukumnya. Sebagian melarang karena alasan tauhid, yakni pengakuan terhadap keimanan agama selain Islam. Sebagian yang lain mengatakan boleh.

Pendapat Ulama Fikih Tentang Ucapan Selamat Imlek

Syaikh Jalaluddin al Suyuthi dalam Majmu’ Fatawanya menulis hukum tentang mengucapkan selamat bulan baru dan selamat tahun baru. Apa yang ditulis Imam Suyuthi sebagai respon terhadap fenomena ucapan selamat tahun baru atau selamat bulan baru dan semacamnya seperti yang banyak dilakukan orang-orang saat ini.

Menukil pendapat Syaikh Zakiuddin Abdul Adhim al Mundziri, bahwa al Hafidz Abul Hasan al Maqdisi pernah ditanya tentang mengucapkan selamat bulan baru atau selamat tahun baru. Abul Hasan mengakui jawaban dari pertanyaan ini tidak tunggal. Ulama berbeda pendapat. Secara pribadi beliau mengatakan hukumnya mubah (boleh), bukan sunnah dan bukan bid’ah. Pendapat senada disampaikan oleh Imam al Qamuli dalam al Jauhar.

Dalam konteks negara Indonesia yang majemuk pendapat ini selaras dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika. Sudah lazim di Indonesia hidup bertetangga beda agama. Pembauran (muamalah) lintas keyakinan menjadi kenyataan yang tak bisa dibantah. Untuk merekatkan hubungan tersebut, salah satunya dengan mengucapkan selamat kepada tetangga, kolega dan teman sejawat beda agama yang sedang merayakan hari besar keagamaan dan momentum hari besar lainnya seperti Imlek, Natal dan tahun baru.

Fenomena ini telah direspon oleh Imam Thabrani dalam Musnad Syamiyyin dan Al Kharaithi dalam tema kesempurnaan akhlak yang ditulis beliau dalam Al Kabir. Thabrani menukil sebuah hadits riwayat Amr bin Syua’ib melalui rantai periwayatan ayah dan kakeknya yang bersumber langsung dari Rasulullah.

Nabi pernah bersabda: “Tahukah kalian apa hak tetangga? Yaitu, apabila mereka meminta bantuanmu, bantulah. Jika mereka meminjam sesuatu kepadamu, berilah mereka pinjaman. Saat tetanggamu merasakan kebahagiaan, ucapkanlah selamat. Dan, jika tetanggamu didera derita dan kesengsaraan, hiburlah”.

Pendapat yang membolehkan mengucapkan selamat Natal, selamat tahun baru, Imlek dan sebagainya, jika ditelisik lebih dalam, berpijak pada nilai-nilai universal dalam Islam yang menjamin semua hak-hak warga negara. Telah dimaklumi, Islam adalah agama yang mengusung nilai kemanusiaan universal.

Fikih tata negara mengajarkan, setiap orang dalam sebuah negara memiliki hak yang sama. Demikian juga, semua warga negara memiliki kewajiban yang sama untuk mempertahankan dan memajukan bangsa. Islam mengajarkan untuk mengakui dengan tulus adanya perbedaan. Karakter demikian membentuk seseorang memiliki integritas lintas agama, etnik, ras dan golongan.

Karenanya, dalam lingkup bangsa Indonesia yang majemuk saya lebih setuju pendapat yang membolehkan mengucapkan selamat Imlek dengan pertimbangan nilai-nilai universal dalam agama Islam yang menghormati setiap hal warga negara. Disamping itu, sekadar mengucapkan selamat Imlek tidak berarti mengakui keimanan atau merusak keimanan. Ini hanya persoalan kemanusiaan, persoalan persaudaraan dan kuatnya hubungan yang harmonis sesama warga negara.

This post was last modified on 24 Januari 2023 3:30 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

8 jam ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

8 jam ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

8 jam ago

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…

8 jam ago

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

1 hari ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

1 hari ago