Categories: Kebangsaan

Perhatian dan Penghargaan Untuk Menahan Laju Terorisme

Terorisme telah menjadi momok yang begitu nyata bagi hampir semua manusia normal saat ini. Gerakan-gerakan ekstrimis yang mempertontonkan kekerasan memenuhi seluruh ruang pandang mata kita; di televisi, media online, dan di koran-koran, hampir setiap saat kita temukan berita-berita tentang kekerasan dan aksi-aksi terorisme.

Bahkan bagi mereka yang aktif berjejaring di media sosial, berita-berita tetang kekerasan, termasuk tautan-tautan bernada propaganda dan ajakan kebencian, dapat sewaktu-waktu mampir ke dinding pribadinya bahkan sejak bagun tidur.

Derasnya arus berita-berita itu membawa isu terorisme begitu dekat dengan kita, seakan rakyat biasa tidak punya lagi kuasa menolak kehadirannya. Anggapan ini tentu saja tidak benar, masyarakat biasa dengan inisiatif kecil sekalipun dapat melakukan sesuatu untuk menghambat gerakan terorisme. Terlebih isu terorisme begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, maka siapapun memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi seorang teroris, pembiaran dan ketidakpedulian adalah salah satu sebab munculnya potensi terorisme; semakin tidak peduli kepada lingkungan, semakin besar pula potensi timbulnya gerakan kekerasan teror di sekitarnya.

Abu Fata (bukan nama sebenarnya), seorang pemuda biasa dari kota Solo, Jawa Tengah, telah terlibat aksi terorisme di usianya yang masih belia. Keterlibatannya pada aksi terorisme adalah buntut dari pembiaran orang-orang yang ada di sekitarnya. Abu Fata yang baru berumur belasan tahun ini merasa hidupnya akan berguna jika ia melakukan tindakan kekerasan teror. Cara pandang dan perilakunya dipengaruhi oleh seseorang yang menurutnya memberikan perhatian dan membuat hidupnya lebih eksis.

 Abu Fata adalah anak yang terlantar sejak usia kanak-kanak, tidur dan makannya tidak tentu kapan dan dimana. Kemudian Ia menghidupi dirinya dengan menjadi pemulung. Abu Fata kecil nyaris tumbuh tanpa kasih sayang dan tanpa perhatian dari siapapun, Ia adalah anak yang dibiarkan, ada dan tiadanya dia tidak pernah menjadi perhatian bagi siapapun.

Suatu saat Ia mengenal seseorang yang membawanya pada kehangatan ‘keluarga’.  Pada komunintas barunya ini, Ia mendapat sapaan dan tangapan selayaknya manusia pada umumnya, sesuatu yang nyaris tidak pernah ia terima sebelumnya. Hal yang paling luar biasa adalah, keberadaannya diapresiasi oleh keluarga barunya ini, ia benar-benar dianggap ada. Abu Fata merasa terlahir kembali sebagai pemuda yang memiliki daya.

Bersama ‘keluarga’ barunya ini Abu Fata menjalani hidup barunya, hidup yang menurutnya lebih berarti. Eksis, itulah yang dirasakannya sejak Ia menjadi bagian dari komunitas barunya itu. Self-esteem yang sekian lama terpendam kini muncul, dalam tahap ini Ia mulai merasakan bahwa dirinya dihargai dan hidupnya bermakna. Perhatian yang diberikan oleh kelompok radikal kepada Abu Fata akhirnya berbuah, Abu Fata siap mengorbankan dirinya untuk visi kelompok ini. Abu Fata merasa dirinya menjadi seorang pahlawan di komunitas ini, Ia meyakinki dirinya akan menjadi Shahid bersama kelompok ini.

Dapat dipahami betapa bahagiannya Abu Fata mendapatkan hidupnya kembali, dari pedihnya hidup tanpa pengakuan, tanpa perhatian dan tanpa kasih sayang menjadi hidup yang ‘tiba-tiba’ penuh makna dan pengakuan.

Kisah Abu Fata ini memberikan gambaran betapa pentingnya memberikan perhatian dan penghargaan kepada sesama. Seandainya seseorang yang datang memberi perhatian kepada Abu Fata adalah seorang yang moderat, mungkin ceritanya akan berbeda. Semoga kita selalu mendapat bimbingan dari Allah dan menjadi insan yang penuh kasih sayang dan perhatian kepada sesama.

Imam Malik

Adalah seorang akademisi dan aktifis untuk isu perdamaian dan dialog antara iman. ia mulai aktif melakukan kampanye perdamaian sejak tahun 2003, ketika ia masih menjadi mahasiswa di Center for Religious and Sross-cultural Studies, UGM. Ia juga pernah menjadi koordinator untuk south east Asia Youth Coordination di Thailand pada 2006 untuk isu new media and youth. ia sempat pula menjadi manajer untuk program perdamaian dan tekhnologi di Wahid Institute, Jakarta. saat ini ia adalah direktur untuk center for religious studies and nationalism di Surya University. ia melakukan penelitian dan kerjasama untuk menangkal terorisme bersama dengan BNPT.

Recent Posts

Dari Suriah ke Sudan; Bagaimana Ekstremis Mengeksploitasi Konflik Sosial-Politik?

Ibarat kendaraan bermotor, gerakan ekstremisme juga butuh bahan bakar. Jika mobil atau motor bahan bakarnya…

4 jam ago

“Glokalisasi Pancasila” & Ramuan Ciamik Harmoni Nusantara

Diskursus kebangsaan kita sering kali terjebak dalam dua tarikan ekstrem. Di satu sisi, terdapat kerinduan,…

4 jam ago

Eksploitasi Ideologi Mengatasnamakan Hijrah dan Jihad Semu

Propaganda terbaru ISIS melalui majalah al-Naba’ (2025) yang menyerukan ajakan berjihad ke Sudan merupakan bukti…

4 jam ago

Kompleksitas Isu Sudan; Bahaya Jihad FOMO Berkedok Ukhuwah Global

Isu Suriah sudah lewat. Gaza sudah berangsur normal. Isu lain seperti Uyghur, Rohingya, dan sebagainya…

1 hari ago

Ilusi Persatuan Global; Meneguhkan Nasionalisme di Tengah Dunia Multipolar

Kelompok ekstremis terutama ISIS tampaknya tidak pernah kehabisan materi propaganda kekerasan. Setelah revolusi Suriah berakhir…

1 hari ago

Menakar Ukhuwah Global dan Kompromi Pancasila Sebagai Benteng Persatuan Dunia

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ukhuwah global sering digaungkan sebagai cita-cita luhur umat manusia—sebuah gagasan…

1 hari ago