Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 12 Rabiul Awal, sering kali dihiasi dengan berbagai kegiatan ritual keagamaan seperti ceramah, sholawat, dan doa bersama. Namun, selain menjadi momen untuk mengenang kelahiran Nabi, Maulid Nabi juga dapat dijadikan momentum strategis untuk merefleksikan nilai-nilai intelektual Islam yang sangat penting bagi perkembangan peradaban, terutama dalam menghadapi tantangan modern.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi umat Islam saat ini adalah kecenderungan pada ortodoksi keagamaan yang kaku dan tertutup, yang sering kali menghambat kemajuan pemikiran dan inovasi dalam Islam. Dalam konteks ini, Maulid Nabi dapat menjadi titik tolak untuk membasmi ortodoksi keagamaan yang sempit dan menghidupkan kembali intelektualisme Islam yang terbuka, dinamis, dan inklusif.
Jika kita menengok sejarah Islam, peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa keemasan, ketika para pemikir Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun tidak hanya berkutat pada ilmu agama, tetapi juga mengembangkan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang seperti filsafat, kedokteran, matematika, dan sains.
Pada masa itu, Islam dikenal sebagai peradaban yang sangat terbuka terhadap dialog dan pertukaran ide. Intelektualisme Islam, yang dipelopori oleh para ulama dan cendekiawan, adalah refleksi dari ajaran Al-Qur’an dan Hadits yang menekankan pentingnya menggunakan akal dan menuntut ilmu.
Namun, di masa kini, banyak negara dan komunitas Muslim yang terjebak dalam ortodoksi keagamaan yang mengutamakan kepatuhan pada dogma-dogma kaku, tanpa membuka ruang untuk diskusi kritis dan inovasi. Ortodoksi ini sering kali menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan membatasi kebebasan berpikir, yang seharusnya menjadi salah satu pilar dalam tradisi Islam.
Alih-alih mendorong umat untuk berpikir kreatif dan inovatif dalam menghadapi tantangan zaman, ortodoksi yang kaku justru mengekang kebebasan intelektual dan menciptakan stagnasi dalam kehidupan umat Islam.
Memang banyak sarjana Muslim yang menyajikan tesis menarik soal degradasi intelektualisme Islam ini. Ahmet T. Kuru dalam bukunya Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment (2019) mengatakan bahwa kemunduran Islam ini disebabkan oleh “perselingkuhan” antara tokoh agama dan penguasa sehingga nilai-nilai relijiusitas bercampur dengan pragmatisme politik yang kotor.
Tesis lain yang diajukan misalnya, karena umat Islam pasca 9/11 menjadi lebih apologetis untuk menganulir tuduhan-tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada Islam. Karena itu, alih-alih mengembangkan ilmu pengetahuan, para sarjana Muslim disibukkan meng-counter tuduhan-tuduhan Barat itu, bahkan hingga saat ini.
Tetapi jelas, satu faktor yang jelas sangat berpengaruh adalah mengakarnya ortodoksi dan fundamentalisme dalam beragama. Maulid Nabi, sebagai momen mengenang kehidupan dan ajaran Rasulullah SAW, dapat menjadi momentum untuk melawan kecenderungan ortodoksi ini.
Rasulullah SAW adalah sosok yang sangat terbuka terhadap berbagai pandangan dan senantiasa mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, berpikir kritis, dan berinovasi. Nabi tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga mengajarkan umatnya untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman.
Semangat ini seharusnya menginspirasi umat Islam untuk melawan pemikiran yang sempit dan tertutup, serta kembali pada tradisi intelektual yang mengedepankan dialog, inovasi, dan keterbukaan.
Wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah “iqra” (bacalah), yang secara eksplisit menekankan pentingnya membaca dan menuntut ilmu. Pesan ini bukan sekadar perintah untuk membaca teks, tetapi juga ajakan untuk berpikir kritis, menganalisis, dan memahami dunia di sekitar kita.
Pesan ini sangat relevan dalam konteks melawan ortodoksi keagamaan, karena menuntut ilmu adalah salah satu cara untuk melampaui dogma-dogma kaku dan memperkaya pemahaman kita tentang ajaran Islam.
Dengan menempatkan intelektualisme sebagai bagian penting dari ibadah, umat Islam dapat menghindari jebakan pemikiran sempit yang sering kali dihasilkan oleh ortodoksi yang kaku.
Peringatan Maulid Nabi dapat diisi dengan berbagai kegiatan yang mendorong dialog intelektual dan pemikiran kritis. Diskusi tentang sejarah peradaban Islam, kontribusi ulama besar dalam ilmu pengetahuan, hingga refleksi tentang relevansi ajaran Nabi dalam konteks kontemporer dapat menjadi cara untuk membasmi ortodoksi dan membangkitkan semangat inovasi di kalangan umat Islam.
Selain itu, peringatan ini juga bisa menjadi ajang untuk memperkenalkan kembali karya-karya intelektual Islam klasik, yang sering kali terpinggirkan oleh pendekatan keagamaan yang terlalu dogmatis. Dengan menghidupkan kembali tradisi pemikiran kritis dan intelektualisme ini, Maulid Nabi dapat menjadi salah satu cara untuk melawan stagnasi intelektual yang sering diakibatkan oleh ortodoksi.
Tentu saja, upaya ini tidak tanpa tantangan. Banyak kelompok dalam masyarakat yang masih menganggap bahwa aspek ritual dalam agama lebih penting daripada pengembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran kritis. Namun, sejarah Islam sendiri telah membuktikan bahwa peradaban Islam tumbuh dan berkembang ketika umatnya mampu menyeimbangkan antara ritual keagamaan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Para ulama masa lalu, seperti Al-Ghazali dan Ibnu Rushd, mampu menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara iman dan akal. Justru, keduanya saling melengkapi dalam membangun peradaban yang kuat.
Peringatan Maulid Nabi tidak hanya menjadi ajang refleksi spiritual, tetapi juga dapat menjadi momentum penting untuk melawan kecenderungan ortodoksi keagamaan yang sempit. Dengan menjadikannya sebagai ajang pengembangan intelektualisme dan pemikiran kritis, umat Islam dapat merevitalisasi tradisi keilmuan yang dulu menjadi kekuatan utama dalam membangun peradaban Islam yang maju dan berkeadaban tinggi.
Ini adalah kesempatan untuk menghidupkan kembali semangat Nabi Muhammad SAW yang mengedepankan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, serta mendorong umat Islam untuk terus maju dan berinovasi.
This post was last modified on 23 Oktober 2024 2:51 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…