Eskalasi konflik Palestina-Israel yang terjadi beberapa waktu lalu telah menjadi panggung politik bagi para agen khilafah di Tanah Air. Mereka seolah menemukan momentum untuk memasarkan ideologi mereka. Pasca pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam), ruang gerak para agen khilafah memang terbatas. Namun, tidak berarti bahwa kampanye khilafah telah sirna dari bumi Indonesia.
Para agen khilafah memang dikenal militan dan lihai memanfaatkan momentum. Terbukti, meski ormas penyokongnya telah tiarap, namun ideologi khilafah masih eksis. Propaganda khilafah kini lebih banyak dipasarkan melalui ranah daring, dengan memanfaatkan isu sosial, politik dan agama yang tengah menjadi perhatian publik. Salah satunya melalui isu perjuangan kemerdekaan Palestina.
Seperti yang tampak akhir-akhir ini ketika gerakan aksi solidaritas Palestina banyak disusupi oleh narasi khilafah dan politik identitas. Para agen khilafah mengklaim bahwa solusi satu-satunya untuk pembebasan Palestina ialah dengan menegakkan kekhalifahan (imperium) Islam. Di saat yang sama, banyak kelompok yang juga menarik isu Palestina ke dalam panggung politik praktis. Tujuannya apalagi jika bukan untuk mengkapitalisasi sentimen keagamaan menjadi keuntungan elektoral.
Perjuangan Kolektif
Perjuangan kemerdekaan Palestina pada dasarnya ialah perjuangan kolektif rakyat Palestina demi menegakkan kedaulatan mereka. Sebagai sebuah gerakan kolektif, maka di dalamnya tentu banyak unsur dan pihak yang terlibat. Mengutip pendapat Rashid Khalidi dalam bukunya The Hundred’s Years War on Palestine, perjuangan rakyat Palestina melawan pendudukan Israel ialah perang “kaya warna” yang melibatkan berbagai kelompok agama (Islam, Katolik dan Protestan), faksi politik hingga kelompok kiri komunis.
Meski dilatari identitas keagamaan, kebudayaan dan ideologi yang berbeda, tujuan mereka sama; yakni menegakkan kedaulatan Palestina baik secara de facto maupun de jure. Hanya saja memang, pendekatan yang dilakukan masing-masing kelompok acapkali berbeda. Ada kelompok yang memakai jalur diplomasi dan negosiasi untuk menggalang dukungan internasional bagi kemerdekaan Palestina. Ada pula kelompok yang lebih memilih jalur konfrontatif, seperti yang dilakukan oleh Hamas. Seturut pendapat Khalidi, perjuangan rakyat Palestina yang “kaya warna” itu dilandasi oleh semangat kebangsaan (nasionalisme). Yakni mewujudkan Palestina yang berdaulat, aman, damai, toleran dan demokratis.
Di ranah politik misalnya, dari keempat partai politik yang saat ini eksis di Palestina, semuanya memiliki ideologi nasionalisme. Keempar parpol yakni Hamas, Fatah, Democratic Front for the Liberation of Palestine dan Palestinian People Party, semuanya berlandaskan ideologi nasionalisme. Tidak ada satu pun parpol di Palestina yang memiliki ideologi khilafah(isme). Di titik ini bisa kita simpulkan bahwa narasi khilafah dan politik identitas yang belakangan mencuat dalam aksi solidaritas Palestina ialah hal yang irelevan. Dalam artian bahwa wacana khilafah sebagai solusi problem Palestina itu justru tidak sesuai dengan esensi dan subtansi perjuangan rakyat Palestina melawan Israel.
Mengelola Isu Palestina
Tidak berlebihan kiranya untuk menyebut bahwa propaganda khilafah dalam aksi solidaritas Palestina merupakan pembajakan terhadap perjuangan nasionalisme Palestina. Seluruh elemen masyarakat dan faksi politik di Palestina saat ini menghendaki Palestina sebagai negara bangsa (nation state) alih-alih negara Islam (Islamic state). Tentu merupakan hal yang absurd manakala di Indonesia, aksi solidaritas Palestina justru ditunggangi oleh narasi khilafah dan politik identitas.
Dukungan terhadap Palestina tentu tidak boleh melemah. Tersebab, hal itu merupakan bagian dari amanah konstitusi. Lebih dari itu, sikap Indonesia terhadap perjuangan Palestina sejak dulu tidak pernah berubah; mendukung kemerdekaan penuh Palestina. Namun, di saat yang sama, hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengelola isu Palestina agar tidak menjadi semacam bola liar yang rawan ditunggangi hal-hal yang bertentangan dengan falsafah bangsa, termasuk khilafah dan politik identitas.
Konsolidasi antara pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk menghalau setiap provokasi dan propaganda khilafah serta politik identitas dengan membonceng isu khilafah sangat diperlukan. Menyikapi isu Palestina memang harus melibatkan aksi ke dalam dan ke luar. Ke luar, kita perlu menunjukkan aksi solidaritas sebagai dukungan moral bagi perjuangan nasionalisme Palestina. Ke dalam, kita perlu merapatkan barisan guna mengidentifikasi setiap gerakan yang potensial mengancam keutuhan bangsa dan negara. Salah satunya ialah propaganda khilafah dan provokasi politik identitas yang belakangan menunggangi isu solidaritas Palestina.
This post was last modified on 28 Mei 2021 12:52 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…