Perjumpaan Islam dan kearifan lokal di Indonesia sejatinya telah melahirkan wajah Islam yang begitu sumringah. Islam tumbuh sebagai ruh (terimplementasikan) di dalam berbagai tradisi/kearifan lokal yang hidup di masyarakat sampai detik ini.
Secara fungsional, perjumpaan Islam dengan kearifan lokal dapat membangun kehidupan berbangsa yang maslahat. Yakni kehidupan berbangsa yang “Islami”. Yakni tercipta tatanan sosial yang harmonis dan penuh kebersamaan. Serta memegang-teguh prinsip-prinsip sosial yang damai dan tanpa perpecahan.
Misalnya dalam tradisi Grebeg Maulid Nabi. Wujud nilai-nilai “penghambaan” kepada-Nya dan rasa cinta pada Nabi-Nya terwujud dalam kebersamaan yang harmonis. Semua bersatu dalam satu visi-misi spiritual. Kenyataan ini menjadi satu benteng kokoh persatuan umat menjadi terjaga dan terhindar dari perpecahan.
Lantas, mengapa kearifan lokal kerap diserang dan dituduh sesat? Secara orientasi, Islam pada hakikatnya mengenal satu prinsip. Selama satu “perbuatan/urf/tradisi” tak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits, maka tradisi itu boleh dilakukan. Sehingga, di sinilah muncul istilah menjadikan kearifan lokal hidup dengan “Ruh” Islam.
Saya begitu tertarik dengan teori Fungsionalisme Emile Durkheim. Bahwa, agama dapat dilihat dari fungsi dan perannya dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui, Islam dalam kearifan lokal tumbuh sebagai simbol yang menyatukan masyarakat. Dia hidup sebagai tata-etika solidaritas yang mapan dan menjalar.
Misalnya di Indonesia kita mengenal tradisi halal-bihalal saat Idul Fitri. Perjumpaan sosial untuk saling maaf-maafan dalam koridor Islam kembali ke fitrah (asal-muasal). Hal ini dapat tumbuh sebagai etika sosial yanh kokoh ke dalam bentuk kesadaran yang bersama-bersaudara. Jadi ini menjadi satu paradigma penting bagaimana Islam dapat menjadi jalan resolusi konflik, resolusi damai dan bahkan resolsui kebersamaan.
Jadi, Saya sangat menolak, jika gerakan penyesatan terhadap kearifan lokal di Indonesia itu dianggap gerakan “pemurnian” ajaran Islam. Sebab kalau kita amati, gerakan penyesatan atas kearifan lokal di Indonesia serat akan motif ideologis di dalamnya yang harus kita waspadai.
Kalau kita pahami lebih jauh. Gerakan penyesatan atas warisan kearifan lokal itu berupaya untuk menggeser karakter keislaman di Indonesia yang begitu ramah, damai, membumi (cinta tanah air) serta penuh kebersamaan. Agar berubah dengan karakter yang penuh amarah, melahirkan perpecahan dan bahkan cenderung melepaskan hakikat keislaman dari nilai-nilai nasionalisme.
Motif yang paling dekat untuk kita sadari adalah: Berupaya ingin mengganti karakter keislaman yang ramah itu menjadi penuh amarah. Kita tahu, suksesnya dakwah Sunan Kalijaga dengan Wayang membuat masyarakat memahami Islam cinta damai tanpa pertumpahan-darah.
Karakter-karakter keislaman yang menyatu dengan kearifan lokal membuat seseorang menjadi bijaksana di dalam menjaga buminya (nasionalisme) lewat kebudayaannya. Jelas, nasionalisme yang dikuatkan dengan semangat keislaman merupakan paradigma yang sangat dibenci dan tak diinginkan oleh kaum-kaum konservatif keagamaan yang ingin menguasai bangsa ini.
Jika gerakan penyesatan atas kearifan lokal ini terus mewabah, maka kita akan kehilangan yang disebut sebagai (akar keislaman) kita sendiri. Karena agenda semacam ini selalu ingin melahirkan gerakan Islam yang destruktif terhadap keragaman yang ada. Bagaimana, keragaman yang harmonis dan bersatu membuat kaum radikal-teroris akan semakin sulit menghancurkan bangsa ini.
Jadi, agenda di balik motif penyesatan kearifan lokal ini selalu berkaitan dengan motif-motif ideologis. Yakni ingin menggeser, mereduksi dan menghegemoni paradigma keislaman kita yang adem-ayem terpancar dalam kearifan lokal. Agar, corak berislam kota dipenuhi dengan amarah dan kebencian.
Motif lain di baik gerakan penyesatan atas kearifan lokal, adalah berupaya memisahkan relasi semangat keislaman yang mengakar sebagai basis nasionalisme (cinta tanah air). Ada begitu banyak tradisi/kearifan lokal seperti Selamatan/Sedekah Bumi dll yang dibungkus dalam nilai-nilai spiritualitas keislaman demikian. Paradigma demikian kalau kita sadari, ini tak lain sebagai bagian dari implementasi semangat keislaman yang mengikat rasa cinta pada tanah air. Lewat rasa syukur dan rasa terima kasih pada Tuhan.
Jadi, perjumpaan kearifan lokal dengan Islam bukan sebagai bentuk kesesatan. Tetapi, sebagai bentuk kemaslahatan dalam beragama. Sebab, Islam yang terekspresikan ke dalam kebudayaan/kearifan lokal sejatinya dapat menumbuhkan semangat keislaman yang cinta pada tanah airnya. Utamanya kesadaran-kesadaran sosial yang lebih solid dan harmonis sebagai perwujudan bangsa yang “Islami”, yakni tatanan sosial yang dipenuhi kemaslahatan.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…