Narasi

Perkuat Integrasi Sosial Pasca Kontestasi Elektoral

Pemilu memang telah usai. Namun, tantangan pasca Pemilu justru baru saja dimulai. Salah satunya mewujud pada kontroversi dan polemik publik dalam menyikapi hasil hitung cepat Pemilu dan Pilpres. Kelompok yang kandidatnya kalah Pilpres lantas mengembuskan isu kecurangan Pemilu.

Narasi kecurangan Pemilu itu kian mendapat validasinya dengan beredarnya hoaks terkait hasil hitung cepat yang acapkali dimanipulasi demi memperkeruh suasana. Masyarakat yang awam akan metode hitung cepat pun banyak yang akhirnya percaya pada informasi sesat tersebut.

Di media sosial, muncul edaran demonstrasi menolak hasil Pemilu 2024 yang akan diadakan pada tanggal 19 Februari di Patung Kuda, Monas menuju Kantor Pusat Bawaslu. Entah siapa yang pertama kali membuat dan mengedarkan poster undangan tersebut.

Namun, hal itu tidak bisa disepelekan begitu saja. Kita patut belajar dari kasus demo menolak hasil Pemilu 2019 di tempat yang sama dan berkahir dengan kericuhan. Kontestasi elektoral niscaya menyisakan sejumlah residu persoalan.

Salah satunya adalah pembelahan sosial di masyarakat akibat perbedaan pilihan politik. Sekilas pembelahan sosial ini wajar dan biasa saja. Namun, jika dilihat secara lebih detail, fenomena pembelahan sosial akibat kontestasi elektoral tenyata bisa merembet kemana-mana dan mengancam integrasi bangsa.

Pentingnya Mitigasi Konflik Pasca Pemilu

Contohnya saja, fenomena politik identitas dan politisasi agama yang mencuat pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 telah menyisakan trauma mendalam bagi kalangan minoritas. Alhasil, mereka kerap menaruh curiga pada kelompok mayoritas (muslim) pun juga sebaliknya kaum mayoritas kerap berlaku diskriminatif pada minoritas.

Tanpa upaya mitigasi yang serius dan berkelanjutan, relasi sosial yang penuh kecurigaan bahkan kebencian itu bisa menjurus destruktif. Apalagi jika ada pihak ke tiga yang menyulut provokasi dan adu-domba.

Di titik inilah pentingnya kita memperkuat integrasi sosial pasca kontestasi elektoral. Polemik dan kontroversi terkait isu Pemilu harus dimitigasi sedini mungkin agar tidak bereskalasi menjadi kemarahan publik bahkan amuk massa.

Penguatan integrasi sosial pasca kontestasi elektoral kiranya akan terwujud manakala para elite dan masyarakat punya seridaknya dua kesadaran. Pertama, kesadaran bahwa demokrasi itu adalah sarana atau alat meraih tujuan kebangsaan yakni terwujudnya kesejahteraan dan keadilan. Jadi, demokrasi bukanlah tujuan, memainkan sarana. Alangkah aneh kita kita justru terpecah-belah sebagai bangsa justru karena demokrasi itu sendiri.

Lagipula, akan selalu ada pihak yang bersorak manakala bangsa ini terjerembab dalam perpecahan. Ada kekuatan asing yang sejak lama mengincar sumber daya alam Indonesia yang dikenal kaya.

Mereka menunggu momentum Indonesia pecah dari dalam untuk kemudian mengambil alih kendali. Selain itu ada golongan radikal ekstrem yang menginginkan negara ini dilanda konflik. Tersebab, di tengah konflik itulah mereka bisa menancapkan ideologinya di tengah masyarakat.

Pemilu dan Kemenangan Rakyat Indonesia

Kedua, kesadaran bahwa siapa pun yang menjadi pemenang Pemilu atau Pilpres, pada dasarnya itu adalah kemenangan bagi rakyat Indonesia. Demokrasi elektoral itu selalu bertumpu pada kehendak mayoritas. Artinya pihak yang mendapat suara terbanyak itulah yang didaulat sebagai pemenang dan berhak menjakankan mandat rakyat.

Namun, itu tidak lantas berarti bahwa mandat kekuasaan itu hanya dinikmati oleh segelintir kalangan saja. Pada praktiknya, semua kebijakan yang diambil oleh pihak pemenang Pemilu ditujukan untuk seluruh rakyat Indonesia. Dalam sejarahnya tidak ada pemimpin yang ketika berkuasa hanya melayani kelompok masyarakat yang memilihnya saja dan mengabaikan yang bukan pemilihnya.

Dalam konteks ini kita perlu mengapresiasi pidato kemenangan Paslon nomor urut 2 yang menyebut akan merangkul pihak yang kalah untuk ikut bergabung ke pemerintahan demi membangun bangsa dan negara.

Narasi rekonsilasi itu penting untuk meredam propaganda perpecahan akibat kontestasi elektoral. Pemenang kontestasi elektoral memang lah pihak yang mendapat paling banyak suara masyarakat.

Namun, pemenang sejati dalam demokrasi ialah mereka yang memahami betul bahwa persaudaraan kebangsaan yang dibangun di atas prinsip kemanusiaan adalah lebih  utama di atas segala urusan politik praktis.

Arkian, pesta demokrasi telah usai. Hingar bungar kampanye telah berakhir. Baliho dan poster telah diturunkan. Hak suara masyarakat juga telah ditunaikan. Namun, tugas belum usai. Masih ada tugas penting pasca kontestasi elektoral ini.

Yakni merajut kembali ikatan kebangsaan yang sempat terkoyak. Sekaligus menyegarkan kembali relasi persaudaraan yang sempat layu karena sentimen politik. Kini saatnya menyatukan suara untuk Indonesia yang lebih maju dan harmonis. Kini sudah bukan waktunya lagi memelihara egoisme sektoral dan fanatisme politik sektarian. Mari sudahi perang opini dan adu narasi yang sarat provokasi. Saatnya bersatu demi Indonesia maju dan harmoni.

This post was last modified on 19 Februari 2024 12:15 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

16 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

16 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

16 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago