Radikalisme dan terorisme di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang bersifat postmodern. Istilah postmodern di sini hanyalah sebuah pembeda atas kejahatan-kejahatan yang tak lagi dapat dipahami dengan perspektif lama. Radikalisme di Indonesia, baik yang bercorak keagamaan maupun non-keagamaan, tak lagi bersifat terpusat seiring dengan konsep dan implementasi kekuasaan yang juga tak terpusat.
Di bawah matahari segala hal secara alamiah membawa bayangannya sendiri-sendiri. Demikian pula konsep dan implementasi kekuasaan di hari ini yang sudah pasti menciptakan perlawanannya sendiri. Seperti yang diwedarkan oleh Foucault bahwa kekuasaan pada akhirnya selalu melahirkan perlawanannya sendiri.
Taruhlah UU Desa dengan konsep desa barunya yang tak lagi merupakan perpanjangan kekuasaan pemerintah daerah. Secara formal, setiap desa dituntut untuk sepenuhnya mampu mengatur dan mengolah kehidupannya sendiri (UU Desa dan Radikalisme di Akar Rumput, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Ibarat anak yang sudah saatnya mandiri dan secara formal lepas dari orangtuanya, setiap desa telah diberi modal untuk hidup dan berkembang atas inisiatif dan inovasi sendiri.
Kelahiran berbagai undang-undang di zaman pemerintahan Jokowi menyiratkan bahwa konsep dan implementasi kekuasaan tak lagi menempatkan pemerintah pusat sebagai satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengatur para warganya. Di samping UU Desa, kita menerima pula UU Keistimewaan, UU Pemajuan Kebudayaan, UU Masyarakat Adat, UU Pesantren, dst, yang menempatkan pemerintah pusat tak seperti dahulu kala. Apa yang terjadi di daerah atau komunitas tertentu tak lagi dapat dinisbahkan secara mutlak pada pemerintah pusat. Setiap pemerintah daerah atau jajaran pimpinan komunitas mesti bertanggungjawab atas apa yang terjadi di daerah ataupun komunitasnya.
Demikian pula terkait kasus radikalisme dan terorisme atau kejahatan-kajahatan lainnya, mereka tak juga seperti dahulu kala. Saya mengibaratkan hal ini sebagai “montase” yang karena itu pemerintah pusat tak lagi memadai untuk selalu mengawasi berbagai pecahan potensi kejahatan (Montase Radikalisme Kontemporer, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Dari berbagai data yang ada, kejahatan ataupun aksi-aksi yang mengarah pada terganggunya stabilitas nasional, juga deligitimasi pemerintah pusat, sangatlah bercorak lokal. Tapi seandainya pola seperti ini terjadi di berbagai daerah, maka kita dapat memahami agenda utama di balik aksi-aksi maupun potensi-potensi yang mereka tampakkan (Hikayat Kebohongan II, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).
Atas dasar itulah saya kira RAN PE merupakan sebuah solusi atas radikalisme dan terorisme kontemporer yang sudah berwujud laiknya montase. Sebab, dari Perpres RAN PE, secara hukum masyarakat memiliki payung untuk terlibat aktif dalam mengantisipasi dan menanggulangi radikalisme dan terorisme semisal sistem deteksi dini, dst. Pemerintah dan jajarannya bukanlah sesosok dewa yang sakti dan serba tahu atau segala yang terjadi di daerah. Bukankah kemandirian dan keberdayaan masyarakat yang selama digembar-gemborkan oleh para aktivis tak melulu terkait dengan masalah ekonomi maupun politik? Bukankah substansi dari berbagai UU yang dilahirkan oleh pemerintah Jokowi selama ini adalah ideal besar civil society dimana masyarakatlah pada akhirnya yang merupakan subyek sekaligus obyek kekuasaan? Tapi ketika terdapat berbagai aktivis yang meragukan terbitnya Perpres RAN PE, maka sudah sepatutnya kita bertanya, apa atau siapakah yang sesungguhnya mereka wakili atau perjuangkan? Gramsci telah lama memilah soal political society dan civil society dimana, dengan berkaca pada pro-kontra Perpres RAN PE, kita dapat menentukan yang mana yang benar-benar memperjuangkan civil society dan yang mana yang sekedar memperjuangkan political society, yang mana yang sesungguhnya berwatak NGO dan yang mana yang sekedar pendukung status quo (dalam maknanya yang luas).
Pola keberatan mereka yang kontra terhadap lahirnya Perpres RAN PE tersebut adalah pada istilah ekstrimisme dan radikalisme. Tapi yang luput dari nalar mereka adalah fakta bahwa organisasi terorisme seperi IS di Indonesia lebih menggunakan pendekatan terorisme purba: premanisme (Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Antiterorisme Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Tampaknya, pola “masturbasif” dan “wani wirang” , dengan kekhasan pola pikir mereka yang terbolak-balik dan membingungkan, masih menjadi pilihan politik sebagian dari masyarakat Indonesia ke depan.
This post was last modified on 20 Januari 2021 1:01 PM
Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…
Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…
Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…
Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…
Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…