Categories: Budaya

Pesantren dan Tantangan Islam Damai

Dewasa ini, tantangan demi tantangan terus menguji eksistensi dunia pesantren. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah masifitas gerakan kekerasan yang sering memperalat Islam. Gerakan keagaman ini cenderung mengedepankan kekerasan dari pada dialog, mengandalkan kemarahan dari pada keramahan, dan mendahulukan tuntutan dari pada tuntunan. Bentuk ekstrim gerakan tersebut adalah terorisme mengatasnamakan agama.

Perubahan besar memang telah terjadi dalam dinamika keagamaan di Indonesia khususnya paska runtuhnya rezim Orde Baru. Lahirnya gerakan keagamaan yang bercorak radikal dan berjejaring internasional yang sangat kuat menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi hal itu bukan poin yang diresahkan karena sebagai bagian dari ekspresi kebebasan beragama yang harus dihormati. Di sisi lain gerakan itu teramat mengkhawatirkan karena banyak memberikan dampak negatif terhadap citra Islam, khususnya Islam Indonesia dan kedaulatan NKRI itu sendiri.

Tidak bisa dipungkiri pasca reformasi kondisi politik dan keamanan yang belum stabil menjadi surga bagi pelarian terorisme internasional dan meluas di Indonesia (Denny J A, 2006). Anehnya gerakan tersebut disinyalir ada juga yang mempunyai keterkaitan dengan pesantren, misalnya beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Harus diakui memang ada juga beberapa pesantren yang bermadzhabkan salafy yang biasanya berada di perkotaan. Hal ini berbeda dengan pesantren tradisional yang lebih fleksibel. Berdirinya beberapa pesantren tersebut bisa dilacak pada 70-80-an dengan warna yang lebih radikal walaupun tidak cenderung negatif yang didirikan oleh alumni Timur Tengah, khususnya alumni Arab Saudi. Pesantren ini lebih menggalakkan pendirian Islam yang lebih ekslusif. Anehnya pesantren ini telah juga merambah kepada pesantren tradisional (Haidar Bagir, 2008).

Berbeda dengan pesantren di atas, pesantren-pesantren yang telah lama bertengger di negeri ini biasanya banyak berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama yang terkumpul dalam RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah). Kecenderungan pesantren kuno ini tidaklah bersifat keras, apalagi anti Pancasila, dan  menolak NKRI. Sebaliknya, pesantren-pesantren inilah yang berjuang terus untuk mempertahankan Pancasila, mengembangkan perdamaian, dan nasionalisme (hubb al-wathon).

Ada pula jenis pesantren salaf dengan menambah istilah haraki (pegerakan). Disebut salafi haraki, karena pesantren ini hendak menegaskan dirinya sebagai institusi dakwah dan pendidikan. Model pesantren ini langsung merujuk kepada kitab suci, al-Qur’an dan Sunnah, dengan menolak peran akal untuk menafsirkannya (literalisme).

Pesantren-pesantren yang belakangan muncul ini lebih bersikap ekslusif, bahkan ada sebagian yang bercorak jihadist, walaupun tentu saja tidak pernah secara eksplisit mengajarkan terorisme. Tetapi ada juga aktifitas semisal pengiriman santri untuk ditugaskan di daerah konflik baik di tanah air ataupun di luar negeri. Meskipun tidak secara eksplisit menanamkan radikalisme dan terorisme, proses tumbuhnya radikalisme yang berasal dari segelintir pesantren tertentu merupakan cambuk keras bagi komunitas santri yang telah lama mendengungkan Islam moderat dan Islam yang ramah dan cinta damai.

Menularkan Islam Rahmatan Lil alamin

Menurut hemat penulis, pesantren harus menegaskan perannya kembali untuk meluruskan konsep-konsep jihad dan negara perang yang sering didengungkan kelompok radikal teroris. Kelompok radikal tersebut bukan mayoritas di Indonesia; mereka hanyalah minoritas, tetapi justru lebih membuat gaduh di tengah masyarakat. Pesantren terindikasi berpotensi radikal pun cuma segelintir, dibandingkang pesantren mainstream.

Dalam perspektif dunia pesantren, keyakinan para teroris dan para pelaku kekerasan lainnya atas nama Islam jelas sangat bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Apa yang telah dilakukan oleh kelompok teror dengan mengorbankan nyawa yang tidak bersalah sama sekali tidak termasuk dalam konsep jihad walaupun konsep jihad sendiri mau diartikan sebagai peperangan (qital).

Dalam kaidah fikih misalnya juga dikenal suatu rumusan yang bisa mematahkan anggapan terorisme adalah ad-dara la yuzalu bi ad-drar. Artinya kerusakan tidak boleh dihilangkan dengan kerusakan yang lain. Dengan menganggap bahwa Indonesia saat ini sudah tidak beradab, misalnya dalam pandangan teroris, itu tidak berarti membolehkan umat Islam untuk menghapus kerusakan dengan memunculkan kerusakan yang lain.

Barangkali ayat ini harus dibaca oleh mereka yang hendak memperjuangkan Islam tetapi selalu mengabaikan prinsip Islam: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS: 16.125).

Menghormati perbedaan dalam dunia pesantren sudah menjadi ruh utama relasi sosial antar santri, bahkan juga dalam perspektif dan keilmuannya. Perspektif dan keilmuan yang beragam merupakan satu kekuatan pesantren untuk tidak terjebak dalam satu pandangan yang monolitik dan sering pula menggunakan praktek kekerasan untuk mengabsahkan keyakinannya.

Keluwesan cara membaca realitas dengan fikih yang kadang menggunakan pendekatan komparasi madzhab memberikan perspektif luas bagi kalangan pesantren dalam mengembangkan sikap toleran. Artinya sejak awal dengan corak fikih yang khilafiyah, dunia pesantren telah menanamkan sikap toleran terhadap perbedaan yang ada.

Sikap moderat, multikultural dan toleran telah menjadi trendmark yang dimiliki dunia pesantren sejak lama. Karena itulah, pengalaman multikultural itu harus selalu ditransformasikan tidak hanya bagi kalangan internal pesantren tetapi masyarakat secara luas. Barangkali hal ini pula yang semestinya harus ditularkan kalangan pesantren kepada masyarakat luas. Pesantren saat ini tidak hanya terpanggil hanya untuk mendidik di lingkungan pesantren tetapi juga masyarakat Indonesia yang saat ini yang sangat rentan dari pegaruh ajaran radikal, kekerasan dan terorisme.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Share
Published by
Abdul Malik

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

16 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

16 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

16 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago