Categories: BudayaPeradaban

Pesantren, Islam Nusantara, dan Nasionalisme Santri (4)

Pengaruh terbesar kehadiran para pengungsi Campa muslim di Indonesia adalah terjadinya asimilasi budaya Campa ke dalam tradisi keagamaan di Indonesia. Salah satu ciri tradisi keagamaan Campa yang dianut di Indonesia adalah diserapnya kebiasaan Campa  untuk memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000. Tradisi Garebeg Suro dan  Garebeg Maulud yang dijalankan sejak abad ke-15 adalah usaha asimilasi untuk membumikan ajaran Islam (Cabaton, 1981).

Asimilasi terhadap kepercayaan muslim Campa, terlihat dari keberadaan makhluk-makhluk halus yang diyakini hidup di sekitar manusia Jawa. Menurut Edi Sedyawati (1994) kepercayaan orang-orang Majapahit terhadap makhluk halus terbatas pada makhluk-makhluk yang dianggap setengah dewa seperti yaksha, raksasa, pisaca, pretasura, gandharwa, bhuta, khinnara, widhyadara, mahakala, nandiswara, caturasra, rahyangta rumuhun, sirangbasa ring wanua, sang mangdyan kahyangan, sang magawai kedhaton.

Sementara kepercayaan orang Campa muslim meliputi berbagai jenis makhluk halus seperti gandharwa, kelong wewe, kuntilanak, pocong, tuyul, kalap, siluman, jin muslim, hantu penunggu pohon, arwah penasaran. Di dalam proses asimilasi itu, orang-orang Indonesia terpengaruh oleh kepercayaan takhayul khas Campa seperti percaya terhadap hitungan suara tokek, tabu mengambil padi di lumbung pada  malam hari, menyebut harimau dengan sebutan “eyang”, dsb.

Kelahiran Islam tradisional yang khas sebagai hasil dakwah Wali Songo yang berpusat di lembaga pendidikan tradisional yang kemudian dikenal dengan nama  Pesantren,  sangat  akrab dengan istilah-istilah lokal keagamaan Kapitayan, Syiwa-buddha, muslim Campa  yang ‘membumikan’ istilah-istilah bahasa Arab ke dalam bahasa setempat. Demikianlah, sejumlah sebutan khas muslim lokal  seperti: sembahyang (shalat), upawasa (shaum), selam (khitan), tajug/ langgar (musholla),   Sanghyang Widhi, Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang, Sanghyang Manon, Gusti Kang Murbeng Gesang (yang semua merujuk kepada Allah), Kangjeng Nabi (Nabi Muhammad Saw), Susuhunan (syaikh), Kyai (‘alim), Guru (ustadz), Santri (murid), Pesantren (halaqah/ ma’had/ madrasah), Swarga (jannah), Neraka (naar), Bidadari (hurin), Sabar (shabar), Adil (‘adil), Lila (ridha), andap-asor (tawadlu’), Ngalah (tawakkal), dan perangkat tradisi Kapitayan  yang tidak terdapat dalam ajaran Islam seperti Bedhug (tambur tengara sembahyang di sanggar atau  vihara), Tumpeng, Tumbal, Nyadran  (dari upacara Sraddha, yaitu berkirim doa kepada arwah leluhur), dan sebagainya menjadi penanda khs Islam di Jawa.

Dalam tradisi keagamaan pun, muslim di Jawa sampai saat sekarang tetap menjalankan tradisi keagamaan Campa seperti mentalqin mayit, memperingati kematian pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000, haul, perayaan Maulid Nabi, membuat bubur asyuro pada 10 Muharram, merayakan hari Rebo Wekasan (di Aceh disebut Arba’a Habe di Campa disebut Arba’a Akhir), peringatan Nisyfu Sya’ban, Kenduri, mengaji dengan bahasa Persia, dan berbagai tradisi Campa lain yang bersumber dari pengaruh Syiah Zaidiyyah dan Ismailiyyah, faham yang sudah punah di Campa pada masa lampau.

Bertolak dari paparan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa sekali pun lokalitas Islam di Jawa terlihat sangat beragam dalam pelaksanaan – terutama di Jawa Timur yang paling banyak memiliki lembaga pendidikan pesantren – namun ada semacam sumber yang sama yang mengikat ide-ide, gagasan-gagasan, pandangan-pandangan, konsep-konsep, dan nilai-nilai yang berakar di masa silam, yang merupakan sebuah sub-kultur khas yang terbentuk dari proses sinkretisasi dan asimilasi antara ajaran Islam Campa dengan ajaran Kapitayan, sebagian kecil Hindu dan Buddha. Atas dasar kesamaan akar sub-kultur yang sama itulah yang menjadikan Islam di Jawa, terutama Jawa Timur, memiliki daya resistensi yang tinggi dalam menghadapi pengaruh-pengaruh baru yang dianggap bakal  mengganggu eksistensi keberagamaan mereka yang sudah mapan selama beratus-ratus tahun. Inilah embrio nasionalisme yang mendasari identitas Nasional  Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

This post was last modified on 31 Juli 2015 2:37 PM

Agus Sunyoto

Pengasuh Pesantren Global Tarbiyatul ‘Arifin di Malang. -- Pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang. -- Wakil Ketua PP Lesbumi PBNU

View Comments

Share
Published by
Agus Sunyoto

Recent Posts

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

9 jam ago

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya…

12 jam ago

Belajar dari Tradisi Islam dalam Merawat Nalar Kritis terhadap AI

Tak ada yang dapat menyangkal bahwa kecerdasan buatan, atau AI, telah menjadi salah satu anugerah…

12 jam ago

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

1 hari ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

1 hari ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

2 hari ago