Categories: Kebangsaan

Nasionalisme Kursi Roda

Air mata saya runtuh membasahi kelopak mata, terharu, pertama kali melihat foto-foto KH. Maemoen Zubair di arena Muktamar NU di Jombang yang diambil secara candid oleh Alissa Wahid putri Gus Dur. Betapa tidak, Mbah Moen –demikian ia biasa disapa- memaksakan diri bangkit dari kursi roda saat menyanyikan Indonesia Raya di acara pembukaan Muktamar. Saat itu Kyai karismatik ini terlihat menopang tubuhnya dengan sebuah tongkat yang ia genggam erat dengan kedua tangan dengan gemetar.

Subhanallah. Entah apa yang saya tangisi. Mungkin air mata yang sempat mengalir dari kelopak mata itu hanya untuk menangisi kekerdilan saya yang hingga hari ini, jangankan untuk memberi kontribusi kepada negara, mencintainya pun hanya sekedar saja. Saya cuma orang Indonesia yang pura-pura cinta dan ngaku-ngaku setia pada negara, tapi sekedar menyanyikan lagu kebangsaan saja saya tak punya sikap hormat. Saya sadar selama ini Indonesia Raya berkumandang hanya di bibir dengan intonasi tak bersemangat ditambah sikap klemar-klemer gak karuan.

Saya bukan orang yang tidak tahu-tahu amat soal ‘mencitai tanah air sebagian dari iman (hubbul wathan minal iman)’, tapi pengetahuan itu hanya sampai taraf kognitif alias cuma sekedar tahu. Pengetahuan itu belum sampai pada perubahan mental (afektif) maupun sikap (konatif). Jika saya di posisi Mbah Moen, mungkin saya akan berfikir buat apa capek-capek memaksa diri bernyanyi lagu kebangsaan. Apalagi soal yang lebih besar hingga mengorbankan harta dan jiwa, nanti dulu saya hanyalah pengecut.

Mbah Moen memang bukan orang sembarangan. Sejak muda ia dikabarkan telah bergabung dengan barisan santri untuk menggelorakan perlawanan terhadap penjajahan. Ia terlibat langsung dalam perjuangan revolusi kemerdekaan. Ia lahir pada 1928 dan menginjak usia 87 tahun pada 2015 ini. Sepanjang usinya itu ia tidak hanya melibatkan diri pada urusan sosial keagamaan saja, di politik dirinya pun pernah pernah menduduki jabatan di DPRD hingga MPR RI.

Di bidang spiritualitas dan keagamaan ia bukan tokoh yang ragukan. Hidupnya dihibahkan untuk kepentingan umat di bawah payung Nahdlatul Ulama (NU). Ia belajar di sejumlah pondok pesantren dan terlahir dari keluarga ulama. Sosoknya disebut-sebut penuh kewibawaan dan menyejukan. Sejumlah tokoh baik dari dalam negeri mengunjunginya hanya untuk sekedar meminta doa atau berkonsultasi denngannya.

Nasionalisme yang ditampilkan tokoh sekaliber Mbah Moen di arena Muktamar NU menyadarkan kita semua bahwa nasionalisme itu tidak bertentangan dengan agama. Mbah Moen dengan kapasitas keilmuan yang sangat mumpuni dengan tingkat kealiman dan penghayatan keagamaan yang tinggi tidak mungkin bertindak tanpa landasan dan argumentasi yang jelas dan benar. Maksudnya, bagi saya yang masih sangat bodoh dalam keilmuan agama misalnya, cukup merujuk pada sikap nasionalisme Mbah Moen saat ada pertanyaan apa hukum nasionalisme dalam Islam?!

Sama halnya ketika ada yang mempertanyakan dasar agama apa yang dapat dijadikan pegangan untuk membela negara dan tanah air, saya pun –karena kekurangan pengetahuan- tak mau bersusah payah mencari ‘dalil’-nya. Dengan mudah saya akan merujuk kepada Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’arie sangat mewajibkan semua orang Indonesia membela kepentingan negara dalam sebuah fatwa yang dikenal dengan nama Resolusi Jihad. Nasionalisme adalah sebagian kecil keteladanan akhlak yang dicontohkan para ulama Nusantara.

Entah bagaimana awal ceritanya, kini sejumlah pihak yang mengatasnamakan agama tertentu mempertanyakan nasionalisme. Sebagian dari kelompok kecil bangsa ini berani menyebut bahwa nasionalisme tak ada referensi teologisnya dalam agama. Bahkan di sebagian lembaga pendidikan keagamaan yang mereka bina melarang para muridnya melakukan upacara di hari Senin, pengibaran dan penghormatan bendera, dan menyanyikan Indonesia Raya.

Barangkali Syaithon telah membisiki hati mereka dengan menyebut nasionalisme adalah tindakan syirik (menyekutukan Tuhan) karena melakukan ‘penyembahan’ terhadap selain Allah. Bukankah Setan kerap meracuni pemikiran manusia dengan berbagai tindakan yang seakan tampak benar, namun hakikatnya dangkal dan tak memiliki dasar?!

This post was last modified on 4 Agustus 2015 1:30 PM

PMD

Admin situs ini adalah para reporter internal yang tergabung di dalam Pusat Media Damai BNPT (PMD). Seluruh artikel yang terdapat di situs ini dikelola dan dikembangkan oleh PMD.

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

20 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

20 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

20 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

2 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

2 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

2 hari ago