Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita sejenak lupa pada tagihan cicilan, pada sengitnya perbedaan pilihan politik. Di tengah riuh tawa lomba bakiak atau saat napas tersengal karena balap karung, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya, “apa sebetulnya yang sedang kita rayakan?”
Kemerdekaan, tentu saja. Tapi rasanya, ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Kita sedang merayakan sisi paling jujur dari kemanusiaan kita. Merayakan sebuah kemampuan langka untuk menjadi satu, justru saat kita sadar betul betapa berbedanya kita.
Bayangkan arena panjat pinang itu. Tak akan ada yang bertanya apa agamamu sebelum ia merelakan pundaknya untuk kau pijak. Di tengah serunya tarik tambang, tak ada yang peduli dari suku mana kawan seperjuanganmu berasal. Yang ada hanya satu tarikan napas, satu tujuan, dan satu teriakan kemenangan, atau satu tawa renyah saat tubuh kita bersama-sama jatuh ke tanah. Inilah wajah kita yang sesungguhnya; wajah Indonesia yang rukun tanpa perlu banyak teori.
Namun, Agustus selalu berlalu. Kita kembali ke hari-hari biasa, dan polusi kebisingan itu datang lagi. Agama, yang dalam Pesta Rakyat terasa seperti embun pagi yang menyejukkan, tiba-tiba di panggung lain terasa begitu gerah dan menyesakkan. Ia diseret ke sana-kemari, dijadikan tameng sekaligus pedang dalam pertarungan politik. Kita dipaksa memilih kubu, ditarik dalam pusaran kebencian yang begitu melelahkan.
Maka, sebuah ikhtiar pun lahir. Muncullah istilah “Moderasi Beragama”. Tak bisa dimungkiri, ini adalah niat yang baik. Ia ibarat petugas pemadam kebakaran yang datang saat api perpecahan mulai menjalar tinggi, terutama setelah pilkada dan pilpres yang nyaris membuat kita tak lagi saling sapa.
Tujuannya mulia, mendinginkan kepala yang panas, meredam sumbu-sumbu pendek, dan memastikan rumah besar bernama Indonesia ini tidak hangus terbakar. Moderasi adalah upaya kita agar tak ada lagi yang saling melukai atas nama Tuhan.
Tapi, apakah hidup ini hanya sebatas “tidak saling melukai?” Apakah tujuan beragama kita hanya agar tidak menjadi ekstremis? Rasanya, ada kerinduan yang lebih dalam di hati kita. Kita tidak hanya ingin selamat dari kebakaran, kita ingin tinggal di dalam rumah yang hangat, yang tamannya berbunga, yang udaranya penuh nyanyian.
Di sinilah sebuah gagasan baru yang lebih segar berbisik, “Agama Bermaslahat”. Konsep ini masuk dalam RPJPN 2025-2045 sebagai salah satu dari 17 arah pembangunan nasional.
Jangan dulu pusing dengan istilahnya. Mari kita terjemahkan dengan bahasa hati. Jika “moderasi” adalah upaya kita untuk tidak sakit, maka “maslahat” adalah ikhtiar kita untuk menjadi sehat seutuhnya bahkan menjadi vitamin bagi orang lain. Ini adalah pergeseran besar. Dari sikap yang defensif, menjadi proaktif. Dari sekadar mencegah keburukan, menjadi aktif menebar kebaikan.
Agama Bermaslahat adalah sebuah kerinduan agar agama kembali ke fitrahnya: menjadi rahmat, menjadi solusi, menjadi sumber kebaikan bersama (common good). Ia adalah agama yang tidak sibuk menghakimi isi hati tetangga, tapi sibuk memastikan apakah tetangga sudah makan hari ini. Ia adalah keyakinan yang outputnya bukan kebencian, melainkan karya nyata yang bermanfaat bagi sesama manusia, bahkan bagi alam semesta.
Dan untuk melihat seperti apa wajah Agama Bermaslahat itu, kita tak perlu mencari referensi jauh-jauh. Tengoklah kembali ke Pesta Rakyat di bulan Agustus.
Di sanalah Agama Bermaslahat berwujud nyata, tanpa perlu spanduk dan seminar. Ia mewujud dalam sebungkus hadiah kecil yang diperebutkan bersama. Ia mewujud dalam keringat yang menetes demi kerja sama tim. Ia mewujud dalam tawa renyah yang melintasi batas-batas keyakinan. Di arena Pesta Rakyat, Tuhan tidak sedang dipertengkarkan. Ia sedang dirayakan dalam setiap jengkal kebersamaan.
Mungkin, “Agama Bermaslahat” bukanlah sebuah konsep baru yang turun dari langit. Mungkin ia adalah kearifan lama yang terpendam dalam DNA kebangsaan kita. Sesuatu yang sudah kita praktikkan sejak dulu, namun sempat kita lupakan karena terlalu sibuk bertengkar.
Pesta Rakyat adalah momen kita “pulang kampung” pada jati diri kita yang asli. Sebuah pengingat tahunan bahwa menjadi berbeda itu kodrat, tapi menjadi satu dalam kebaikan adalah pilihan paling mulia. Dan pilihan itulah ruh dari agama yang benar-benar bermanfaat.
Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…
Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…
Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…
Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…
Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…
Peringatan HUT RI ke-80 tahun berlangsung meriah sekaligus khidmat di seluruh penjuru negeri. Di tengah…