Narasi

Piagam Madinah, Pancasila, dan Harmoni Lintas Agama

Piagam Madinah merupakan sebuah pencapaian mengagumkan dalam lintasan sejarah. Piagam Madinah merupakan sebuah bukti otentik bahwa Rasulullah Saw., merupakan figur yang sangat toleran, dan memandang perbedaan sebagai sebuah fitrah indah. Rasulullah Saw. tidak selalu menjadikan Islam sangat koersif dalam mengatur kehidupan masyarakat di Madinah. Meski Rasulullah Saw. diakui sebagai pemimpin, namun beliau tidak

Peristiwa ini merupakan simbol bahwa Nabi Muhammad Saw. menginginkan harmonis lintas agama dan budaya terjadi. Konsekuensi logisnya adalah, kebijakan Nabi Muhammad Saw., tidak lantas membangun hukum syariah, negara syariah, dan sistem senada lainnya. Nabi Muhammad Saw. justru membangun pilar-pilar kehidupan yang demokratis. Dengan mengukuhkah piagam Madinah, sejarah Islam telah membuktikan bahwa Islam memberikan jaminan perlindungan kepada semua individu, tidak khusus hanya Islam, melainkan semua orang tanpa memandang agama dan ras.

Piagam Madinah (shahifatul madinah) merupakan dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad Saw. sebagai perjanjian formal dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Madinah. Di dalamnya, terkandung jaminan dan perlindungan kepada siapa saja untuk dilindungi dan dijaga hak-haknya. Secara substansi, hakikatnya Piagam Madinah memiliki persamaan dengan Pancasila. Keduanya, sama-sama tidak menunjukkan superioritas Islam, namun menunjukkan bahwa Islam mengayomi kepentingan bersama, tanpa membedakan agama, ras, dan perbedaan-perbedaan kultural lainnya.

Dalam konteks Indonesia—bagi Nur Cholis Madjid—Pancasila dianalogikan seperti Piagam Madinah yang sama-sama sebagai platform antar berbagai macam kelompok masyarakat dan agama. Pacasila menjamin kemerdekaan hak-hak setiap individu untuk merdeka dan bebas menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan. Spirit piagam Madinah inilah, yang mengantarkan Pancasila menjadi rumusan yang tidak menampilkan superioritas Islam. Realitas ini mengingatkan kita bahwa para ulama yang turut menjadi founding fathers bangsa yang menyusun Pancasila sangat berkiblat pada ajaran toleransi Rasulullah Saw.

Para ulama dan umara, sepakat untuk menghapus tujuh kata, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pada sila pertama. Sehingga, sila pertama menjadi berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Implikasinya adalah, hal ini membangun harmoni, karena Pancasila tidak dihegemoni oleh superioritas agama tertentu. Kelapangan dada para ulama meneladani kebijaksanaan Rasulullah Saw., dalam membangun harmoni di dalam lingkup Indonesia yang amat majemuk dan multi kultur.

Pancasila memang sudah final, diterima, dan selalu relevan dengan kondisi Indonesia yang amat majemuk. Lantas, apakah layak, jika Pancasila digugat, setelah ia memperteguh peranan Islam dalam membangun harmoni lintas budaya dan agama? Pancasila tak layak disebut sebagai thagut. Justru sebaliknya, Pancasila merupakan pemersatu, bak piagam Madinah yang tidak menunjukkan superioritas Islam, melainkan justru memperlihatkan keteguhan Islam dalam meneguhkan komitmen kemanusiaan.

Mengikrarkan dan meneguhkan kembali Pancasila dalam sikap dan perilaku sehari-hari kita, pada gilirannya sama halnya dengan mengulang kembali masa keemasan Islam memimpin peradaban, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang dinaungi naungan Ilahiah. Begitulah, menjadi tugas kita bersama untuk terus menjaga Pancasila, tetap subur dalam hidup kita. Menjadi tugas kita bersama untuk merawat nilai-nilai kearifan Pancasila dalam upaya jihad mewujudkan keharmonisan, meneladani jejak kenabian. Wallahu’alam.

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

1 hari ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago