Radikalisasi merupakan proses yang menyebabkan seseorang jatuh dalam pemikiran radikal dan ekstrem. Salah satu pintu masuk utama dalam proses radikalisasi adalah sikap antipati terhadap kebudayaan dan kearifan lokal. Dalam konteks ini, kelompok radikal cenderung melihat budaya lokal sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama, dan sering kali membenturkan antara agama dan kearifan lokal demi mencapai tujuan ideologis mereka.
Ketika berbicara keraifan lokal, kita berbicara tentang nilai luhur yang universal yang tentu saja tidak bertentangan dengan norma apapun. Kearifan adalah suatu cara pandang yang senafas dengan nilai luhur manusia. Kearifan lokal berarti nilai-nilai luhur dan adiluhung yang telah mengakar dan mengikat kebersamaan dalam masyarakat dalam waktu yang cukup lama.
Dengan menanamkan kebencian terhadap tradisi dan budaya yang sudah mengakar, mereka berusaha memutus ikatan sosial yang ada dalam masyarakat, dan menggantinya dengan pandangan radikal yang ekstrem. Kelompok radikal mendorong masyarakat terpecah dari akarnya dengan mengganti pandangan baru yang ekstrem dan homogen.
Karena itu, tidak mengherankan jika salah satu ciri dari proses radikalisasi adalah ajakan untuk membenci kearifan lokal. Kelompok-kelompok radikal sering kali mengidentifikasi kearifan lokal sebagai sesuatu yang “tidak relijius” atau bahkan dianggap sebagai penghalang bagi penerapan agama secara utuh. Mereka mengklaim bahwa budaya lokal mengandung elemen-elemen yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, dan oleh karena itu harus ditinggalkan atau bahkan diberantas.
Dalam konteks Islam di Indonesia, beberapa kelompok radikal memandang tradisi-tradisi seperti slametan, tahlilan, peringatan Maulid Nabi, tradisi ziarah kubur dan doa bersama lainnya sebagai bentuk bid’ah atau penyimpangan yang harus dihentikan. Padahal, kearifan lokal memiliki peran penting dalam membangun harmoni dan mempererat hubungan sosial dalam masyarakat.
Tradisi dan budaya lokal berfungsi sebagai sarana untuk mempertemukan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda, memperkuat rasa kebersamaan, dan memperkuat identitas kolektif. Kekuatan kearifan lokal ini justru menjadi ancaman bagi kelompok radikal, karena ia menjadi pengikat kebersamaan dalam masyarakat dan mempersulit penyebaran ideologi radikal yang mengutamakan segregasi dan eksklusivitas.
Upaya Melemahkan Kohesi, Membangun Segregasi
Radikalisasi dengan membenturkan agama dan kearifan lokal sering kali disertai dengan narasi bahwa budaya adalah sumber kemunduran atau keterbelakangan. Kelompok-kelompok radikal menggunakan narasi ini untuk menanamkan ketidakpercayaan terhadap tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Mereka menolak untuk mengakui bahwa kearifan lokal sering kali berisi nilai-nilai universal yang sejalan dengan ajaran agama, seperti kebersamaan, gotong royong, toleransi, dan penghormatan terhadap alam. Alih-alih melihat budaya sebagai sarana untuk mendekatkan masyarakat pada nilai-nilai keagamaan, kelompok radikal justru memperlihatkan sikap antipati dan mengajak masyarakat untuk meninggalkan atau bahkan memusuhi tradisi-tradisi lokal.
Sikap antipati terhadap budaya ini sering kali menjadi pintu masuk bagi kelompok radikal untuk menguasai ruang sosial dan mengisolasi masyarakat dari identitas mereka yang sesungguhnya. Dalam banyak kasus, mereka menciptakan polarisasi dan segregasi sosial dengan cara membenturkan identitas keagamaan dan identitas budaya.
Mereka memanipulasi pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama dengan menyatakan bahwa mengikuti budaya lokal adalah bentuk penghianatan terhadap agama. Padahal, dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, kita melihat contoh nyata bagaimana agama dan budaya bisa saling mendukung dan berjalan seiring.
Wali Songo, sebagai penyebar Islam di Nusantara, menggunakan kearifan lokal sebagai sarana yang efektif untuk menanamkan ajaran Islam. Mereka tidak hanya menerima budaya lokal, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi yang sudah ada. Misalnya, Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai media dakwah, yang menunjukkan bahwa budaya dan agama bisa saling mendukung dalam membentuk masyarakat yang harmonis. Namun, kelompok radikal cenderung mengabaikan contoh-contoh sejarah semacam ini dan mempromosikan pandangan yang kaku dan sempit tentang agama.
Kearifan lokal ditakuti oleh kelompok radikal karena ia memiliki daya ikat sosial yang sangat kuat. Tradisi lokal, dengan segala kearifannya, berfungsi sebagai perekat sosial yang mempersatukan masyarakat lintas suku, agama, dan golongan. Kearifan lokal seperti adat istiadat, tradisi upacara, dan norma-norma sosial menciptakan rasa kebersamaan dan solidaritas di antara anggota masyarakat.
Dalam masyarakat yang memiliki tradisi yang kuat, ikatan sosial cenderung lebih stabil dan sulit untuk dipecah belah. Oleh karena itu, kelompok radikal berusaha melemahkan peran budaya lokal dengan cara menganggapnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama yang mereka klaim.
Menguatkan Kearifan, Menolak
Lebih dari itu, kearifan lokal juga sering kali berfungsi sebagai benteng terakhir dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Nilai-nilai seperti gotong royong, solidaritas, dan penghormatan terhadap perbedaan adalah fondasi dari banyak tradisi lokal di Indonesia. Ketika kelompok radikal mencoba untuk membongkar fondasi ini, mereka secara tidak langsung juga melemahkan ikatan sosial yang menjadi dasar bagi kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis. Dengan menanamkan kebencian terhadap kearifan lokal, kelompok radikal sebenarnya mencoba memecah belah masyarakat dan menciptakan ruang untuk ideologi mereka yang bersifat eksklusif dan intoleran.
Untuk melawan proses radikalisasi yang berusaha membenturkan agama dengan kearifan lokal, menguatkan kembali pemahaman tentang harmoni antara agama dan budaya adalah sebuah keniscayaan. Agama dan budaya seharusnya tidak dilihat sebagai dua entitas yang bertentangan, tetapi sebagai dua hal yang saling melengkapi.
Dalam konteks Islam, kearifan lokal sering kali menjadi medium yang sangat efektif untuk menyebarkan ajaran agama. Sebaliknya, agama juga memperkaya budaya lokal dengan memberikan arah moral dan etis yang kuat. Para ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia telah menunjukkan bagaimana agama dan budaya bisa hidup berdampingan secara harmonis.
Tradisi-tradisi seperti slametan, kenduri, Maulid Nabi, dan tahlilan bukanlah bentuk penyimpangan, tetapi merupakan cara masyarakat lokal mengungkapkan kecintaan mereka terhadap agama melalui ekspresi budaya yang mereka pahami dan hargai. Upaya kelompok radikal untuk membenturkan agama dengan budaya tidak hanya salah secara historis, tetapi juga berbahaya bagi keutuhan sosial.
Radikalisasi melalui sikap antipati terhadap kearifan lokal tentu akan memecah belah dan menghancurkan harmoni sosial yang telah terjalin selama berabad-abad. Kearifan lokal dan agama Islam seharusnya dilihat sebagai kekuatan yang saling mendukung dalam membangun masyarakat yang damai, toleran, dan sejahtera.
Pahamilah, upaya melawan kelompok radikal untuk menghancurkan fondasi sosial kita adalah dengan memastikan bahwa Islam terus tumbuh dan berkembang dalam harmoni dengan budaya lokal.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…