Narasi

Pola Infiltrasi Terorisme dan Problem Keterasingan Diri dari Lingkungan Sosial Hingga Menjadi Teroris!

Saya mencermati betul, faktor di antara orang-orang yang terkontaminasi paham radikal lalu menjadi teroris. Potensi itu tumbuh, di tengah problem keterasingan diri dari lingkungan sosial. Baik dalam keputusan dirinya mengasingkan diri dari lingkungan sosial atau-pun dalam kondisi terasingkan dalam lingkungannya (tidak diterima) di lingkungan sosial.

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi, yaitu tersangka teroris DE (karyawan BUMN PT KAI) yang dalam kesehariannya juga tertutup dan jarang ber-sosialisasi. Kasus yang serupa, di tiga tahun yang lalu, yaitu; teroris Zakiah Aini yang pernah menyerang Mabes Polri pada Rabu 31 Maret 2021. Zakiah Aini dalam kesehariannya memang tertutup, anti-sosial dan di situlah potensi dirinya terjebak ke dalam kontaminasi virus radikal lalu menjadi teroris dengan motif hijrah.

Dua fakta ini kiranya menjadi satu pola penting infiltrasi radikal-teroris di tengah problem keterasingan diri dari lingkungan sosial itu. Sebab, keterasingan secara sosial sering-kali membuat seseorang mudah depresi. Lalu menyalahi keadaan, mudah putus asa, hingga berada di jalan buntu untuk mengakhiri hidupnya.

Sehingga, provokasi/ajakan menjadi teroris terkadang menjadi bentuk dari “pelarian” seseorang di tengah kondisi hidupnya yang eksklusif itu. Provokasi ajaran radikal-teroris cenderung mencari dan menargetkan terhadap orang-orang yang sedalam kondisi seperti itu. Jadi, sangat penting untuk mengatasi problem keterasingan diri dari kehidupan sosial itu.

Merekatkan Hubungan Sosial dan Tidak Membeda-bedakan Satu-Sama Lain

Secara paradigmatis, kebersamaan yang harmonis adalah (vaksin) seseorang kebal dari provokasi ajaran radikal-teroris. Bentuk hubungan sosial yang mapan, terjalinnya komunikasi sosial yang aktif, membangun saling ketergantungan satu-sama lain untuk saling membantu. Niscaya, ruang sosial yang terbuka semacam ini tentunya akan sulit bagi paham radikal-teroris menjangkit diri kita.

Karena kalau kita amati, penularan paham radikal-teroris, lalu menjadi (aktor teroris) itu. Sejatinya banyak dipengaruhi oleh kesadaran sosial yang kosong. Kesadaran sosial yang kosong ini bersifat, seolah tidak membutuhkan orang lain dalam kehidupannya dan menjadi eksklusif. Artinya, bentuk (keterasingan diri) itu akan melahirkan yang namanya egoisme. Sebagaimana, egoisme menjadi faktor penting dari (benalu paham radikal-teroris) yang meniscayakan cara berpikir yang intolerant dan anti perbedaan dengan basis (merasa paling benar) atau merasa tidak butuh siapa-pun.

Keterasingan sosial, Saya rasa perlu kita sadari, sebagai satu faktor penting mengapa orang mudah terjangkit virus radikal-teroris itu. Jadi, perlu kita atasi dengan mencoba untuk membuka ruang sosial yang terbuka, membangun pola komunikasi yang aktif, membuka ruang kebersamaan dan di situlah akan terbentuk semacam (imun) yang kuat kebal virus radikal-teroris karena dirinya tak sedang berada di jalan buntu berpikir karena ruang sosial membuat orang condong etis dalam segala tindakannya.

Selain itu, sikap saling tidak membeda-bedakan dalam kehidupan sosial menjadi satu hal penting yang harus dibangun. Baik perbedaan agama, latar-belakang suku, bahasa, tradisi atau-pun perbedaan cara berpikir. Jangan membuat diri kita menjadi penyebab atas keterasingan diri seseorang dengan sikap kita yang eksklusif dan intolerant. Bentuk diskriminasi dan intimidasi serta perundungan/bullying hingga membuat seseorang memilih mengasingkan diri dari lingkungan.

Mencegah Paham Radikal-Teroris dengan Membangun Ruang Sosial Komunikasi yang Baik secara Harmonis di Sosial Media

Ruang sosial media kini menjadi platform digital yang tidak aman, karena banyaknya paham radikal-teroris tersebar di dalamnya. Sehingga, hal yang dapat kita lakukan untuk mencegah penularan virus tersebut adalah membangun ruang sosial komunikatif yang baik secara harmonis satu-sama lain. Menghidupkan daya saling berbagi cerita, pengalaman, saling tukar pendapat dan meniscayakan saling meminta solusi dalam setiap keputusan digital yang kita miliki.

Upaya ini adalah cara kita membunuh (faktor fundamental) seseorang bisa mudah terkontaminasi menjadi teroris. Yaitu bentuk keterasingan diri dari lingkungan sosial sehingga membuat seseorang mudah diracuni paham perusak bangsa itu. Maka, menjadi penting kiranya ruang keterbukaan sosial dengan spirit (kebersamaan di tengah persatuan) yang kuat adalah kunci kita dalam mendeteksi sekaligus mencegah paham radikal-teroris di media sosial kita saat ini.

This post was last modified on 23 Agustus 2023 10:56 AM

Nur Samsi

Recent Posts

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

4 jam ago

Diplomasi Santri di Kancah Global; Dari Komite Hijaz, Isu Palestina, ke Kampanye Islam Moderat

Santri kerap diidentikkan dengan kelompok muslim tradisional yang kuno, kolot, bahkan ortodoks. Santri juga kerap…

4 jam ago

Santri Sebagai Rausyanfikr; Transformasi dari Nalar Nasionalisme ke Internasionalisme

Kaum santri barangkali adalah kelompok yang paling tepat untuk menyandang gelar Rausyanfikr. Istilah Rausyanfikr dipopulerkan…

4 jam ago

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

3 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

3 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

3 hari ago