Wacana moderasi beragama masih kerap menuai polemik di kalangan umat Islam. Ada segelintir kalangan yang menolak agenda moderasi beragama dengan sejumlah alasan. Antara lain, moderasi beragama merupakan agenda Barat untuk melemahkan Islam. Ada pula anggapan bahwa moderasi beragama adalah bentuk lain dari sekularisasi.
Bahkan, ada yang beranggapan bahwa moderasi beragama adalah proyek untuk mendangkalkan akidah. Dengan moderasi beragama, umat Islam akan kehilangan ghiroh dalam beribadah, dan berjihad di jalan Allah. Lantas, benarkah demikian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu kita harus memahami apa itu moderasi beragama.Jika kita merujuk pada buku saku Pendidikan Karakter dan Moderasi Beragama yang dikeluarkan Kementerian Agama RI, definisi moderasi beragama adalah upaya membangun cara pandang dan praktik keagamaan yang sesuai dengan hakikat agama itu sendiri, yakni menjaga harkat, martabat, dan peradaban manusia, bukan sebaliknya.
Lebih lanjut, dalam buku itu dijelaskan bahwa hakikat moderat dalam istilah moderasi beragama adalah sikap tidak berlebihan (ghuluw) dalam beragama. Makna berlebihan dalam hal ini adalah memahami dan menjalankan agama secara kaku, tekstualis, dan eksklusif. Di dalam buku saku itu juga dijelaskan mengapa kita butuh moderasi beragama.
Moderasi Beragama Sebagai Antitesis dari Ekstremisme Agama
Dalam konteks Indonesia, moderasi beragama tidak lahir dari ruang hampa. Moderasi beragama sebagai sebuah agenda lahir sebagai respons atas fonomena keberagamaan yang mengarah pada nalar konservatisme, radikalisme, bahkan ekstremisme. Jadi, moderasi beragama itu murni kesadaran pemerintah dan entitas keagamaan di Indonesia untuk merespons problem terkait maraknya intoleransi dan kekerasan atas nama agama.
Secara konkret, agenda moderasi beragama ini bisa dijabarkan ke dalam sejumlah poin. Pertama, membangun keberagamaan yang toleran dan inklusif pada kemajemukan suku, agama, ras, dan budaya yang ada di Indonesia.
Kedua, membangun keberagamaan yang sejalan dengan konsensus kebangsaan yakni NKRI, Pancasila, dan UUD RI 1945. Ketiga, membangun keberagamaan yang berbasis pada cinta-damai dan anti-kekerasan. Keempat, membangun keberagamaan yang adaptif pada nilai budaya dan kearifan lokal.
Dari penjelasan di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun unsur dalam moderasi beragama yang mengancam akidah umat (Islam). Moderasi beragama juga bukan pesanan Barat sebagaimana dituduhkan sejumlah kalangan. Moderasi beragama juga bukan kemasan lain dari sekularisasi yang bertujuan memprivatisasi agama.
Moderasi Beragama Sejalan dengan Islam Aswaja
Alih-alih sebagai proyek pendangkalan akidah, moderasi beragama justru lebih tepat disebut sebagai pendalaman akidah. Jika kita melihat ajaran Islam, khususnya menurut para ulama Ahlussunnah, prinsip dasar Islam dalam bermuamalah itu berdasar pada empat prinsip pokok.
Pertama, prinsip tawassuth atau moderat. Yakni sikap yang tidak berlebihan atau ekstrem dan berada di tengah. Tawassuth adalah antitesis dari sikap tatharruf (ekstrem).
Prinsip ini didasarkan pada Alquran Surat Al Baqarah ayat 143 yang artinya, “Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian”.
Kedua, prinsip tasamuh yakni sikap toleran dan inklusif dalam menyikapi pluralitas agama dan budaya yang ada di masyarakat. Tasamuh bukan berarti mengakui kebenaran agama lain, melainkan sikap afirmatif dalam menerima kemajemukan. Prinsip ini berdasar pada Al Quran Surat Thaha ayat 44.
Yakni “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”
Ketiga, prinsip tawazun yaitu bersikap seimbang dalam segala hal, termasuk dalam hal penggunaan dalil aqli (rasionalitas) dan naqli (tekstualitas). Sikap ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al Hadid ayat 25 yang artinya, “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
Terakhir, prinsip al i’tidal yang artinya berkomitmen pada kebenaran dan keadilan. Dalam beragama, prinsip i’tidal ini meyakini bahwa ajaran Islam yang paling benar dan tidak ada keraguan sedikitpun. Namun, keyakinan itu tidak lantas membuat kita tidak bersikap adil pada umat agama lain.
Prinsip ini sesuai dengan Surat al Maidah ayat 8. Yakni “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Prinsip Aswaja, yakni tawasuth, tasamuh, tawazun dan i’tidal ini sangat relevan dengan konsep moderasi beragama. Bahkan, tawasuth sendiri secara harfiah bermakna moderat. Jadi, jika kita menerapkan prinsip moderasi beragama, pada dasarnya kita tidak akan mengalami pendangkalan akidah. Sebaliknya, kita justru tengah melakoni fase pendalaman akidah.
This post was last modified on 4 Januari 2024 9:01 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…